Perkenalkan, saya adalah seorang bocah yang tidak tahu-menahu tentang apa yang terjadi pada negeri kita saat ini, tentang demokrasi yang dikuasai oleh oligarki ataupun birokrasi yang tak bisa menghalau korupsi. Hari-hari saya dipenuhi dengan rutinitas yang hampir saja membuat saya kehilangan rasa humanitas. Tugas sekolah yang menumpuk, pelajaran-pelajaran yang tidak dimengerti, dan media sosial yang terus meminta saya untuk tinggal lebih lama, semakin membuat saya lupa bahwa hidup ini bukan hanya tentang tugas dan instatory, dan langkah ini bukan hanya sebatas halaman rumah ke sekolah. Lebih dari itu.

Ingat sekali waktu itu,  saya sedang membaca buku yang berjudul Catatan Juang karyanya Bung Fiersa Besari, pada halaman 53 munculah nama Soe Hok-Gie. Disitu, tidak banyak sosok Gie diceritakan, tapi cukup membuat saya penasaran. Soe Hok-Gie? siapa sih dia? nama ini terasa asing bagi saya karena sebelumnya memang belum pernah mendengar, tidak dibuku sejarah ataupun sekolah. Setelah buku catatan juang habis dibaca, nama Soe Hok-Gie tetap berputar-putar dalam ingatan saya.  Sayapun berniat mencari tahu tentang Gie di internet. Mulai dari biografi, aksi demonstrasinya di tahun 66, keberaniannya mengkritik rezim Orde Lama dan Orde Baru, hingga kisahnya yang mendaki ke gunung semeru. Rasa kagum saya meluap-luap ketika satu-persatu artikel yang saya baca menceritakan tentang bagaimana dia mempertahankan idealismenya.

Tidak cukup hanya membaca artikel di internet, saya pun mencoba menyisihkan uang jajan sekolah saya untuk membeli salah satu buku Soe Hok-Gie. Buku pertama yang saya beli adalah buku yang berjudul Soe Hok-gie …sekali lagi. Sayangnya, saya tidak mempunyai teman yang bisa diajak berdiskusi tentang buku ini, tentang siapa sosok pemuda yang pemberani dan idealis bernama Soe Hok-gie. karena pada saat itu, teman-teman saya lebih suka membicarakan tentang novel cinta-remaja. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk membaca buku itu tanpa membahasnya dengan orang lain.

Suatu hari, saat saya memposting salah satu kutipan Soe Hok-gie di internet, salah satu teman online saya membalas postingan saya, dia mengatakan bahwa dia juga sangat mengagumi sosok pemuda yang bernama Soe Hok-Gie ini, dan kami berujung membicarakan Gie melalui via chatting. Senangnya bukan main saat ada teman yang bisa diajak ngobrol tentang Gie haha.

Saya pertama kali mengenal Soe Hok-Gie satu tahun yang lalu, tepatnya dikelas 11 SMA. Dan  Gie selalu saya bawa kemana-mana, ketempat ramai seperti disekolah ataupun tempat yang sepi seperti di daerah pesawahan. Dimanapun itu, Gie berhasil menarik saya untuk menelusuri kisahnya lebih lama. Pernah suatu ketika saat saya sedang membaca buku tersebut, seorang teman saya bertanya bahwa apakah saya kuat membaca buku yang lumayan tebal tersebut? buku non-fiksi lagi, saya jawab aja namanya juga suka mau gimana lagi? Hehe.

Gie, keberanianmu terhadap kebenaran, kejujuranmu dilautan kebohongan, keteguhanmu mempertahankan idealisme yang kamu perjuangkan, perlawananmu melawan kemunafikan, benar benar membuat saya semakin kagum pada sosok pemuda yang tidak dikenal banyak orang namun, berguna bagi banyak orang.

 Di dalam ruangan gelap yang penuh nyamuk itu, kamu tuangkan segala keresahanmu tentang pemerintahan yang sudah carut-marut pada masanya, kritikan terhadap orang-orang yang semakin hari semakin otoriter dan diktator, tentang teman-temanmu yang kemudian lebih memilih menjadi bagian dari mereka, juga tentang kisah cintamu yang kandas. Saya  tau Gie, sesaat kamu merasa lelah dengan semua yang kamu lakukan, kritikanmu membuat mu diasingkan, memiliki banyak musuh dan kesepian. Seperti katamu di dalam buku itu, “saya berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan? Saya menulis, melakukan kritik. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa yang sebenarnya saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian.” Tapi tetap saja kamu bertahan dalam langkah perjuangan.

Dari sosok Gie saya belajar bahwa jalan menuju kebenaran dan keadilan bukanlah jalan yang mulus tanpa hambatan, tetapi harus siap menempuh jalan  yang penuh kerikil dan bebatuan. Terimakasih Gie, kamu telah memberikan semangat terhadap pilihan yang saya ambil, pada keinginan yang saya semogakan, juga pada mimpi yang saya harapkan. Kamu benar-benar luar biasa Gie!

Gie, hingga akhir hayatmu pun, kamu tetap meninggalkan jejak. Seolah-olah kisahmu memang diperuntukkan bagi mereka yang sedang berjuang. Dan diatas puncak semeru yang gagah, ditengah asap belerang yang parah, kamu pergi. Katamu, “orang-orang seperti kita tidak pantas mati ditempat tidur” langkahmu memang tak pernah berhenti, tak pernah menyerah, terus melangkah menembus batas-batas pergerakkan, hinggga akhirnya kamu berbahagia dalam ketiadaan. Selamat jalan, Gie.

Oleh: Wina Septianasari

Instagram: @ winaasr_


 

Gie yang menginspirasi

Kenangan akan sosok Gie memilki makna yang sangat pribadi bagi saya. Bagi saya sosok Gie adalah salah satu bagian terbaik dalam pencarian jati diri saya. Film layar lebar tentangnya bagi saya merupakan salah satu pencapaian terbaik sineas Indonesia di masanya. Catatan harian seorang demonstran adalah hari-hari masa sekolah menengah saya.

Kisah saya tentang Gie dimulai pada bulan Agustus 2005. Sebelumnya saya tidak mengenal siapa Soe Hok Gie. Namun suatu malam saya diajak kakak saya untuk menonton ke bioskop. Seingat saya saat itu ada dua film Indonesia yang tayang, Catatan Akhir Sekolah dan GIE. Terus terang, saya sedikit pesimis tentang perfilman Indonesia saat itu. Tapi untuk mengisi waktu, saya pun ikut dan film pun dimulai.

Film Gie adalah suatu dokumenter yang cukup panjang bagi saya, 3 jam dan muatannya cukup berat untuk saya yang duduk di akhir bangku SMP. Film itu menjelaskan sosok Soe Hok Gie dalam ‘Pesta, Politik dan Cinta’. Saya masih ingat betul waktu kira-kira film itu berjalan  satu jam lewat. Banyak penonton keluar dari studio, kira sepertiga yang hadir. Memang hal-hal bermuatan politik, filosofis dan sejarah bukan barang laku di negeri ini. Tapi buat saya malam itu, adalah malam yang cukup unik.

Diluar kelemahan-kelemahan teknis, tata bahasa, sinematografi, pemilihan pemeran dan sebagainya bagi saya film GIE cukup menyajikan suatu pelajaran filosofis yang beharga. Film itu membuat saya kembali optimis untuk membuka buku-buku sejarah filosofis dan psikologi seperti yang Gie lakukan. Buku pertama yang saya mencari buku Catatan Seorang Demonstran. Hari-hari awal saya di bangku SMA dilalui dengan mebaca kisah-kisah hidup Gie. Kebetulan buku itu ada di perpusatkaan SMA baru saya. Saya menyelesaikan buku itu kira-kira dalam dua bulan, karena saya ingat harus dua minggu sekali kembali ke perpusatakaan untuk memperpanjang peminjaman buku itu.

Berdasarkan film dan buku harian, bagi saya sosok Gie adalah seorang intelektual muda yang sangat idealis. Gie memandang kehidupan dengan nalurinya sebagai manusia dan standar kemanusiaan yang apa adanya. Ada beberapa hal-hal yang dia ungkapkan dengan sangat jujur, sederhana namun sangat dalam, bagi saya itu tidak terlupakan. Hal yang menarik juga adalah ia hidup di masa peralihan antara orde lama dengan orde baru, sehingga latar waktu sangat menjelaskan bagaimana cara berpikir Gie sehubungan dengan kekuasaan, kemanusiaan, politik, penindasan dan ketidakadilan. Jelaslah meski secara fisik Gie kecil kurus bukan seperti Nicholas Saputra, namun dia memiliki mimpi yang besar.

Secara politik, buat saya Gie sangat otentik, jernih dan jujur. Saya memang belum pernah bertemu langsung dengannya juga membaca seluruh narasi atau sumber informasi tentang Gie. Saya juga tidak tahu persis apa orientasi politiknya. Namun mengapa saya punya alasan mengatakan dia cukup jernih. Biasanya seseorang yang memandang periode peralihan orde lama ke baru akan terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang mengharamkan itu terjadi, mereka adalah pendukung Soekarno garis keras, yang menganggap pencapaian orde lama khususnya dalam bidang social politik sangat hebat dan melupakan betapa terpuruknya ekonomi Indonesia saat itu. Dan Kelompok kedua adalah kelompok pro orde baru, yang sangat menjunjung Soeharto dan militer sebagai pahlawan baru di Indonesia. Namun Gie dalam film dan tulisannya berada di luar daridada dua kelompok tadi.

Gie memandang orde lama sebagai kelompok tua yang dia katakan dalam bukunya seharusnya terbunuh di lapangan Banteng. Sementara dia juga mulai ‘ragu’ dengan orde baru yang baru beberapa tahun saja berkuasa. Bagi saya Gie bukan seorang politikus, dia seorang sejarahwan yang humanis tapi cukup aktif menyuarakan apa yang dia rasakan melalui posisinya sebagai mahasiswa dan pengajar saat itu.

Namun bagi saya, hal yang paling menarik dari Gie adalah sisi kemanusiaan dan keresahannya. Gie banyak mempertahakan hal-hal yang sebenarnya paling hakiki dalam kehidupan. Dia bertanya tentantgtujuan hidup yang tidak satu setan pun tahu, dai resah tentang anggota dewan yang sudah nyaman dibawah kekuasaan dan bahkan lingkungan pengajar UI yang tidak ideal. Awalnya saya berpikir bahwa Gie sikapnya itu terlalu kritis.

Akan tetapi, dalam salah satu tulisannya dia mengatakan apakah sejarah tidak akan tercipta tanpa penindasan. Dia juga mengatakan bahwa seorang sejarahwan adalah orang yang akan menjadi pesimis, karena mereka adalah orang yang paham masa lalu, hari ini dan kira-kira apa yang akan terjadi sebentar lagi. Pola sejarah manusia selalu berulang revolusi, berkembang, maju, depresi, peperangan dan perebutan kekuasaan adalah suatu lingkaran yang senantiasa berputar. Sehingga cocok jika Gie mengatakan sejarah tak akan tercipta tanpa kekerasan, karena itulah yang nyata terjadi.

Hal itu menimbulkan pertanyaan : Untuk apa manusia diciptakan dan lahir ? Bukankah lebih baik baginya tidak dilahirkan, mati muda dan yang tersial adalah umur tua. Pertanyaan-pertanyaan Gie ini mengusik pencarian jati diri saya. Ini sangat pribadi, dan sosok Gie membuat saya kembali mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Membaca lebih banyak buku dan berupaya menjadi lebih manusiawi dalam memandang kehidupan saya dan orang lain.

Ada satu lagi keunggulan yang Gie miliki dia sangat jujur dan berani. Mungkin ini karena kita membaca buku hariannya, suatu hal yang sebenarnya sangat intim dan pribadi. Sebagai contoh dia memandang agama bukan sebagai filosofis tapi mengenai keseharian.  Seperti kata Kahlil Gibran agama adalah keseharianmu. Maksudnya nilai agama seharusnya membantu seseorang lebih manusiawi dan beradap, bukan sebagai pendakwah tapi melupakan atau tidak peduli dengan hal-hal yang ada disekelilingnya. Saya masih ingat betul Gie dalam catatan seorang demonstran pernah berpikir lebih baik bantuan berupa makanan daripada kitab suci dalam suatu bencana.

Hal ini memberi saya pelajaran penting yakni agama atau ketuhanan itu penting. Tapi itu dapat dinilai bukan soal dari pengetahuan , penampilan luar atau apa yang dikatakan. Itu yang biasanya manusia nilai. Tapi itu nyata dari tindakan seseorang. Sebagai contoh, kalau dia seorang pria dan dia menganggap dirinya bertuhan. Apakah dia seorang ayah yang baik? Apakah dia memberi nafkah keluarganya? Apakah dia setia pada pasangannya? Lebih jauh bagaimana dia memperlakukan orang lain terutama pada saat ada kesulitan. Bagiamana reaksinya melihat ketidakadilan? Seharusnya nilai-nilai yang baik termasuk agama membuat seseorang menjadi manusia yang lebih utuh dan humanis serta memiliki moral yang lebih baik.

Pelajaran terpenting inilah yang saya dapatkan dari seorang Soe Hok Gie. Keresahan dan pertanyaanya membuat saya optimis kembali mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan Gie dalam Alkitab. Bukan bermaksud menggurui atau menjelaskan soal iman pribadi saya, ini hanya sekedar menceritakan kisah saya dan sosok Gie. Gie merindukan dunia yang bebas dari penyakit dan penderitaan, saya menemukan jawabannya dalam Kitab Wahyu 21 : 3,4. Dunia saat ini penuh duka dan air mata, sejarah tak pernah ada tanpa kekerasan. Saya yakin bahwa manusia manapun dan seperti yang Gie lakukan, perjuangan seperti apapun tidak akan merubah dunia ini menjadi tempat yang lebih baik.

Hanya kepada Tuhanlah saya berharap. Saya percaya seperti halnya kasih dan kemanusiaan yang Gie miliki, Tuhan jauh lebih baik daripada itu. Dia pribadi yang sangat baik dan saya percaya Dia tidak pernah menyiksa makhluk-mahkluk ciptaannya di neraka, suatu hal kalau Dia lakukan maka standar moralnya jauh dibawah manusia-manusia yang tidak sempurna. Saya yakin manusia tidak mempunyai kekuatan untuk menentukan langkahnya. Makhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada, berbahagialah dengan ketiadaanmu. Maka  seperti kata Gie kebenaran hanya ada diatas dan dunia ini adalah palsu, palsu.

Ferdy Christianto

Instagram: @ferdychristianto


 

Soe Hok-gie

 Saya Afandi, seorang siswa yang masih duduk di bangku kelas X Sekolah menengah atas di salah satu sekolah ternama di daerah saya. Sejak saya SD Hingga SMP, saya memiliki ketertarikan terhadap buku dan film terlebih lagi yang bercerita mengenai sejarah perjuangan tokoh-tokoh bangsa. Di mulai ketika saya menonton sebuah film tahun '80 an yang bercerita tentang penumpasan pengkhianatan G30S-PKI yang membuat saya semakin penasaran tentang bagaimana kehidupan bangsa Indonesia di masa tersebut. Berbagai E-book saya cari di internet, membaca buku-buku di perpustakaan, hingga berdiskusi dengan guru saya mengenai kehidupan orang-orang di masa orde lama. Sebagai seorang anak yang banyak ingin tahu, saat itu saya merasa kurang puas dengan informasi yang telah saya dapatkan. Maka dari itu saya mencari lebih banyak lagi informasi dengan berkunjung ke perpustakaan daerah dan mencari referensi- referensi mengenai film film yang membahas tentang sejarah bangsa.

 

 Ketika itu, muncul sebuah notifikasi rekomendasi film dari salah satu platform film yang berlogo huruf N berwarna merah, yang menunjukan cover seorang aktor kebanggaan Indonesia yang dibawahnya tertulis nama GIE. Seketika saya penasaran dan dengan film tersebut, ditambah pemeran utamanya adalah aktor kebanggan bangsa yang banyak meraih gelar di dunia perfilman tanah air, siapa lagi kalau bukan Nicholas Saputra. Membaca deskripsi dari film tersebut membuat saya semakin penasaran, pada akhirnya, saya memutuskan untuk mengunduh film tersebut dan menontonnya ketika waktu senggang. Pertama kali saya menontin film tersebut, saya belum terlalu paham dengan jalan ceritanya. Tetapi tidak menyurutkan semangat saya untuk terus menontonnya. beberapa kali Saya tergecak kagum ketika sang pemeran utama membaca quote-quotenya di beberapa adegan. "Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. guru bukan dewa dan selalu benar dan murid bukan kerbau". quote pertama yang menyentuh hati saya dari sang pemeran utama yaitu seorang pejuang keadilan yang hidup di masa orde lama. Setelah menonton film tersebut, saya di seolah-olah diberi PR oleh sang sutradara film untuk mencari siapa sosok Soe Hok Gie itu. Berbagai E-Jurnal, artikel, dan berita-berita yang memuat kisah beliau saya cari di internet. Biografi, kisah perjuangan, dan kontribusi beliau adalah tujuan utama yang saya cari demi bisa memuaskan rasa penasaran saya tentang beliau. untuk kedua kalinya, saya nenonton film tersebut lagi. Disini saya sudah paham dengan bagaimana jalan cerita film tersebut. saya semakin berdecak kagum dengan perjuangan beiau. Saya mulai terbawa suasana masa masa orde lama ketika menonton ataupun membaca kisah tentang beliau. sebab itulah, beberapa pelajaran yang saya dapat dari beliau saya petik dan berusaha agar bisa dterapkan pada kehidupan saya.

 Bagai angin berlalu, tiba tiba tercetus ide di pikiran saya untuk menulis sebuah artikel inspiratif dan mengirimkannya di Koran. Ketika itu saya berpikir bahwa Gie melakukan hal tersebut untuk menginspirasi banyak orang, mengapa saya tidak melakukan hal yang sama?. Sebab itulah saya menulis sebuah artikel mengenai nilai kepemimpinan bagi generasi muda dan mengirimkannya di Koran serta mengatasnamakan sebagai seorang siswa SMA. Hal tersebut berjalan mulus. Hingga akhirnya saya di tunjuk oleh sekolah untuk mengikuti lomba karya penulisan dan mewakili nama sekolah. Ketika membaca tema dari lomba tersebut yaitu mengenai nilai kepahlawanan bagi generasi muda, tercetus ide di kepala saya untuk mengangkat Soe Hok Gie sebagai topik karya penulisanya. Saya menulis biografi, kontribusi dan pelajaran yang saya petik dari kisah beliau yang dikutip dari berbagai jurnal, buku, dan film tentang beliau. Hingga lahirlah sebuah karya, "Kini yang berguru pada lampau: Soe Hok Gie sang Demonstran keadilan" Begitulah judulnya.

 Walaupun saya belum berkesempatan untuk mendapatkan gelar juara, tetapi saya merasa bangga bisa mengangkan beliau sebagai topik penulisan saya. Terlebih lagi, banyak dari teman-teman segenerasi saya yang baru mengetahui beliau setelah membaca karya tulisan saya. Berbgai manfaat saya dapatkan setelah mengetahui kisah isnpiratif dari perjuangan seorang aktivis muda yang hidup di masa orde lama tersebut. saya bisa mulai belajar untuk meneladani sikap beliau, dan mulai belajar untuk bersikap kritis terhadap permasalahan yang terjadi di sekitar saya. Saya berharap kedepannya nanti, muncul Soe Hok Gie- Soe Hok Gie berikutnya, yang dapat bergerak atas dasar kemanusiaan dan prinsip untuk memajukan bangsa.

 -Ternate, 27 Agustus 2020-

Muh. Afandi 

Instagram: @muh.afandii


 

Soe Hok Gie: Aktivis Keadilan Yang Lahir Di Benak Atas Prinsip Rasa Ingin Tahu

“Perempuan akan selalu di bawah laki-laki kalau yang diurusi hanya baju dan kecantikan”

Kutipan di atas merupakan salah satu pemikiran dari Soe Hok Gie yang selalu saya pegang hingga hari ini. Kalimat itu meninggalkan kesan yang mendalam bagi saya ketika saya pertama kali membacanya. Menurut saya pendidikan bagi seorang perempuan sangatlah penting karena perempuan merupakan tiang bagi suatu bangsa bangsa. Ada sebuah pepatah yang mengatakan, “Jika ingin menghancurkan sebuah negara, maka hancurkan moral wanitanya”. Saya sendiri merupakan seorang anak pertama dari sebuah keluarga sederhana yang kebetulan juga terlahir sebagai seorang anak perempuan. Saya tidak mengharapkan banyak hal dalam kehidupan saya, tapi dari dulu saya memang sangat ingin berkuliah. Saya berasal dari latar belakang orang tua yang sama sekali tidak pernah merasakan bangku kuliah yang awalnya masih berpikir bahwa bagi anak perempuan, kuliah tidak terlalu penting. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, Tuhan memberikan jalan kepada saya dan membuka pikiran kedua orang tua saya untuk merestui jalan saya menuju dunia perkuliahan hingga akhirnya saya diterima di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di kota tempat saya tinggal.

Tanggal 18 Desember 2016, beberapa minggu lagi saya akan menjalani orientasi di salah satu Perguruan Tinggi Negeri dan malam itu juga merupakan malam perkenalan saya dengan sosok Gie. Saya merasa bahwa semesta ingin memberi saya bekal sebelum saya menjadi seorang calon mahasiswa baru. Jika orang lain mengenal sosok Gie dari buku atau film, saya justru mengenal Gie dari keisengan saya bermain facebook. Saat itu saya melihat ada teman yang membagikan tautan yang menceritakan mengenai sosok Pemuda Indonesia yang merdeka lengkap dengan menunjukkan foto Gie yang sedang duduk bersila dan mencakupkan kedua tangan sambil tersenyum. Saya melihat foto itu lekat-lekat dan bertanya dalam hati,  Siapa pemuda ini ? Kenapa saya tidak pernah melihat fotonya di buku-buku sejarah sekolah? Lalu kenapa ada tautan tentang kemerdekaan padahal ini bukan hulan Agustus ? Berbekal dengan semua pertanyaan itu akhirnya saya membuka tautan tersebut dan siapa yang menyangka saya langsung jatuh hati pada Gie, seorang kaum intelektual yang bebas dan merdeka.

Setelah malam itu berlalu, hari-hari selanjutnya saya selalu dihantui rasa penasaran akan sosok Gie. Semua usaha saya lakukan mulai dari berselancar di internet, pergi ke toko buku, hingga ke perpustakaan daerah agar saya bisa mengenal sosok Gie lebih dalam. Semakin saya mengenalnya rasanya saya semakin mencintainya. Saya begitu kagum karena ada seorang anak muda yang bisa begitu besar keresahannya terhadap tangisan rakyat yang lemah. Pemikirannya begitu dalam dan kritis menggambarkan sesosok kaum intelektual yang tidak hanya mementingkan diri sendiri tapi mementingkan rakyat. Beliau sadar betul bahwa mahasiswa itu tidak bisa hanya duduk dan belajar, tapi mahasiswa harusnya bisa memberi peran nyata bagi masyarakat.

Gie tidak takut jika dia harus diasingkan, daripada harus menjadi munafik, beliau sendiri sadar bahwa menjadi diasingkan merupakan resiko dari pemberontakan. Gie begitu tulus dalam setiap gerakannya membantu rakyat, tanpa ada keinginan untuk cari muka ataupun keinginan untuk mmendapat jabatan. Itulah yang membuat saya merasa memiliki tanggung jawab sebagai seorang calon mahasiswa, bahwa menjadi mahasiswa berarti kita menjadi penerus bangsa dan juga sebagai agen perubahan menuju bangsa yang lebih baik.

Malam itu, tanggal 18 Desember 2016 menjadi awal mula diri saya yang baru. Bahkan hingga saat ini saya selalu merasa Gie punya tempat tersendiri di hati saya, mungkin karena saya bertumbuh bersama dengan pemikiran-pemikirannya dan menghabiskan masa kuliah saya dengan mencoba melihat dari sisi seorang Gie. Saya merasa saya adalah sedikit dari insan yang beruntung karena saya perempuan yang bisa berkuliah dan juga berkesempatan mengenal bahkan mencintai sosok Soe Hok Gie. Yeah, I’m the happy selected few.

Ni Luh Putu Widyantari

Instagram : @widyantari999


 

THE HAPPY SELECTED FEW

 

Aku sebenarnya baru mengenalmu Gie, mungkin sudah sekitar 2 tahun sejak aku mulai duduk di bangku kuliah. Apa lagi jurusanku adalah Pemikiran Politik Islam, jadi membuat diriku harus penasaran dengan dunia.

Aku mulai mengenalmu Gie, saat aku melihat sebuah quotesmu dalam sebuah social media yang berbunyi, “Kebenaran hanya ada di langit dan dunia hanya palsu, palsu”.

Dari hal sekecil itu aku mulai tertarik, hingga aku diajak oleh temanku. Melihat-lihat buku di gramedia, dan kulihat ada sosok mu Gie. Buku dengan judul cover, SOE HOK GIE. Catatan Seorang Demonstran.

Aku membeli dan membaca tiap-tiap catatanmu Gie, dan yang kurasakan adalah tercabik-cabik dengan tiap kalimatmu yang tajam. Engkau tertarik pada kebenaran dan keadilan, dimana engkau berharap adanya persatuan tanpa mengatas namakan golongan, agama dan ras.

Tapi pemikiranmu yang aku pahami berasal dari kegemaranmu yang suka naik gunung. Alam lah yang mungkin menjadikanmu sekritis itu pada mereka yang mengkhianati perjuangan. Kau menilai alam indah dan selalu membuat nyaman sebuah perasaan.

Menuutku alam itu seperti pikiranmu Gie, bebas dan tidak ada yang menghalangi. Kita menikmati dunia, tapi bila dia dirusak dengan bergantinya hutan dengan pabrik, lahan kosong ditanami beton!. Membuat pikiran dan penglihatan tidak nyaman dan disaat itulah kau merasa mereka menodai kebebasan.

Apa yang kau rasakan semasa hidupmu Gie, kini aku rasakan. Dimana alamku juga mulai tercemar oleh tindakan penguasa yang berutal. Tidak sedikit dari banyak orang yang berharap kau hidup lagi, tapi kini aku merasa jiwa dan keberaniamu lah yang kini hidup di sanubari orang-orang yang merasa alam ini tercabik-cabik.

Gie, kau menjadi primadona di kalangan mahasiswa awam dan tulen. Alam pun mulai mengisahkan betapa ingin engkau mengakhiri sebuah bahasa dengan damai. Tapi Gie, dari kisahmu yang hidup dalam perjuangan. Menjadi bentuk dari cerminan negeri kita dengan sebutan bangsa pejuang, berjuang demi Negara dan berjuang demi diri sendiri.

Gie, aku juga pernag bertanya pada diriku sendiri. Apakah tanpa penindasa sejarah tidak aka nada! Tapi kebenaran itu adanya di langit Gie, dan engkau telah menemukannya. Semoga kebenaran yang telah kau rasakan seindah harapan perjuangan Gie.

Nobel Sinatra Ginting

Instagram: @nobel_suka




Alam Itu Seperti Pikiranmu Gie

“Cerita adalah jalan yang bisa membuat seseorang memahami cinta.” (Agus Noor, 2020)

 Namanya terselip di akhir perbincangan singkat kami perihal kerusuhan di Jakarta tahun 1998. “Coba baca buku biografi Soe Hok Gie,” kata Bu Gita, rekan kerja saya yang lahir besar di Jakarta dan sempat merasakan suramnya ibukota pada tahun itu. Gie bukan seorang mahasiswa aktivis yang terlibat pada tragedi tersebut karena ia sendiri telah menemui keabadian hidupnya sebelum menyaksikan Soeharto turun takhta. 

Namun entah mengapa Bu Gita menyarankan kami, gadis-gadis berumur dua puluhan yang berasal dari kampung dan buta akan peristiwa-peristiwa bersejarah di Indonesia untuk membaca buku tentang Soe Hok Gie setelah kami membahas secuil kisah memilukan tersebut. Saat itu, saya belum memiliki rasa antusias untuk mencari Gie. Saya hanya melihat sebentar videonya di youtube lalu membaca artikel-artikel daring terkait peristiwa tragis 1998.

Dan tanpa direncanakan, di sore hari sebelum pulang kerja, kami bertemu kembali dengan Bu Gita. Meskipun pembahasannya masih tentang sesuatu yang sadis, namun di pertemuan kali itu, kami membahas Partai Komunis Indonesia (PKI). Kami mendengar ketidakadilan terjadi pada keluarga yang salah satu anggota keluarganya pernah terlibat dengan PKI. Mereka dicap buruk dan kesulitan mencari pekerjaan padahal mereka tidak melakukan kejahatan. Cerita seperti ini tidak saya temui selama saya mengikuti mata pelajaran Sejarah di sekolah (SMP dan SMA). Lagi-lagi, di akhir cerita, Bu Gita merekomendasi kami untuk membaca buku terkait Soe Hok Gie.

Karena sudah disebutkan lebih dari sekali, saya menjadi penasaran dengan sosok tersebut. Setiba di kamar indekos, saya membuka kembali youtube tapi belum menemukan sesuatu yang istimewa dari seorang Gie. Akhirnya rasa penasaran saya cukup sampai di situ. Tibalah suatu hari, di tengah jam kerja, kepala saya hampir mendarat di meja karena kantuk yang hebat. Tidur di meja pada jam kerja adalah hal yang sangat terlarang bagi seorang petugas perpustakaan meskipun pekerjaan rutinnya telah selesai. Akhirnya saya putuskan menghampiri rak 9XX (Geografi dan Sejarah) dengan harapan satu langkah kaki saya dapat mencelikkan mata saya. 

Saya amat-amati buku mana yang akan saya baca, ternyata buku Multatuli berjudul Max Havelaar cukup menggoda. Saya ambil buku tersebut lalu kembali ke meja untuk bertamasya. Baru menjalani beberapa lembar, rasa kantuk mencobai saya lebih keras. Saya kembali ke rak 9XX, mencari-cari buku pengganti yang kira-kira mampu menghentikan pencobaan itu. Saya lirik dari susunan paling atas sampai bawah, dan akhirnya mata kami bertemu: mata saya dan mata Gie dalam sampul buku Soe Hok Gie…Sekali Lagi (versi lama). Suara Bu Gita terngiang di kepala saya, dan akhirnya dengan mantap saya menerima uluran tangannya. Bukan saya yang membawa Gie ke meja saya, tapi teman-temannya yang mengiring saya untuk duduk manis demi mendengarkan suara mereka tentang pemuda yang idealis.

Ternyata buku tebal bernilai histori tersebut ampuh mengusir rasa kantuk, menyalakan semangat yang sempat redup karena jam kerja yang belum berakhir. Siapa sangka, bagian pertama yang dikisahkan oleh Rudy Badil sanggup menguasai hati saya sampai saya tidak kuasa menahan air mata. Ada yang paling diingat ketika jatuh cinta pertama kali pada seseorang atau saat pertama kali bertemu dengan sesosok yang istimewa. Di pertemuan pertama saya dengan Gie oleh rekan-rekan dan mereka yang menyayanginya, Gie menampilkan kekeraskepalaannya dengan logika yang jernih (Rudy Badil menyebutkan, tiap berdebat, Soe Hok Gie selalu memakai data dan logika yang cerah). Karakternya tersebut yang membuat saya mulai jatuh hati dan bersemangat mendengar kisah-kisahnya, kantuk pun melarikan diri. Tanpa sadar, saya harus berbenah karena jam kerja sudah berakhir: perpustakaan harus ditutup!

Cerita tentang kekeraskepalaan Gie disambung dengan kecerdasan, keberanian, dan ketangguhannya. Saya pikir ia adalah seorang pemuda dengan segala kelimpahannya dari Sang Pencipta. Tentu tak sedikit orang yang cerdas, berani, tangguh dengan prinsip pribadinya yang kuat. Lalu, apa yang membuat Gie berbeda dengan yang lain? Gie berani maju melawan ketidakadilan dengan segala risiko, Gie tidak bungkam akan kemunafikan khususnya di bawah pemerintahan Soekarno, Gie mengecam tindakan balas dendam kepada mereka yang pernah berlaku sewenang, Gie tidak pandang bulu, Gie punya air mata dan hati! 

Akhirnya saya mengerti mengapa saat bercerita tentang PKI dan kasus 1998 (meskipun tidak ada seorang Gie di sana), Bu Gita menyarankan kami membaca buku biografi Soe Hok Gie atau yang terkait dengannya. Gie adalah salah satu pendemo yang berani turun ke lapangan karena sungguh-sungguh memikirkan nasib bangsa.

Dari penuturan sahabat-sahabat sekaligus mereka yang menyayangi Gie, saya tahu bahwa Gie bukan orang yang sembarangan. Karakternya yang kuat di usia muda membuat Gie dicintai oleh orang-orang yang mencintai kejujuran dan prinsipnya teguh di tengah kebobrokan hidup menjadi teladan bagi saya hingga detik ini

Instagram: @deswitapanjaitan

 


Menemukan Gie Di Balik Rasa Kantuk

2015, aku adalah bocah yang begitu tak sabar berlabel Maha. Meski tidak berada di Perguruan Tinggi impian dan jurusan idaman, tapi saat pertama kali menginjakkan kaki di sana, aku sudah bertekad untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan. Kata orang, menjadi mahasiswa itu menyenangkan. Kau bisa melakukan apapun tanpa pernah takut berbuat salah. Katanya lagi, hal yang wajar saat masih belajar melakukan kesalahan, termasuk saat menjadi mahasiswa. Entahlah, yang aku pikirkan hanya hal-hal baru yang nampak begitu menyenangkan di Priangan Timur Jawa Barat itu.

Begitu gagah melihat kakak-kakak berlabel eksekutif memperkenalkan diri di hadapan maba (Mahasiswa Baru) polos. Aku sempat berpikir untuk menjadi salah satu diantaranya suatu saat nanti. Lambat laun, keinginan itu tak jadi ku kejar saat aku menyadari perbedaan antara aku dan budaya di sana. Ya, mereka begitu asyik setiap tahunnya menggelar acara hura-hura. Entah esensinya apa, yang terpenting eksis, hits, sponsor banyak dan jalan-jalan di akhir periode kepengurusan. Aku tak mau mengerti dari sisi sebelah mana mereka memandang itu semua menjadi landasan kesuksesan ormawa (Organisasi Mahasiswa).

Singkat cerita, aku memutuskan untuk daftar pada salah satu UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang tak terlalu banyak diminati, Pers Mahasiswa. Dari kecil, aku memamg suka menulis. Pikirku lebih baik kembali mengasah kemampuan menulis daripada bergabung dengan ormawa penggelar acara DJ setiap tahun. Jurnalistik ternyata begitu luas. Aku tak hanya dituntut untuk mampu menulis, mewawancarai, menganalisis atau peka terhadap lingkungan. Pencarian jati diri selama di Persma membuat aku tersadar untuk melepas segala embel-embel yang melekat pada diri pribadi, mulai dari fakultas, jurusan, teman, orang yang dibenci, saudara, kerabat, keluarga bahkan cinta saat aku terjun ke lapangan untuk mencari kebenaran.

September 2015, pertama kalinya aku piket di sekretariat Persma. Kegiatan piket begitu sederhana, hanya berdiskusi dengan senior atau melempar tawa bersama sesama calon anggota. Kami sebagai mahasiswa baru, bocah ingusan polos yang bermaksud mencari kesenangan dalam berorganisasi, hanya bisa menggeleng saat salah satu senior bertanya, "Ada yang tahu Soe Hok Gie?" Sang senior begitu kaget bercampur kecewa melihat respon kami. "Kalian calon jurnalis, malu-maluin gak tahu Soe Hok Gie!" Kekecewaannya berdampak dengan tambahan tugas baru. Kami diwajibkan menonton Film Gie malam itu juga di kossan masing-masing, karena esok kami harus sudah berkumpul untuk mengkaji bersama film itu. Usai kajian Film Gie, aku semakin penasaran dengan sosok Gie. Sepintas aku berpikir, "Apakah sosok seperti Gie ada diantara mahasiswa masa kini?"

Januari 2016, usai resmi dilantik menjadi Anggota Persma, aku pulang ke kampung halaman. Menghabiskan waktu libur 1 minggu dengen menjelajahi toko buku emperan di Jatinangor. Disanalah aku kembali terusik dengan sosok Gie. Berdiskusi dengan beberapa pemilik toko buku yang ternyata banyak mengetahui tentang Gie. Akhirnya aku memutuskan untuk membeli beberapa bukunya, yang tentu salah satunya Catatan Seorang Demonstran. Aku benar-benar sudah jatuh hati pada setiap pemikirannya yang tertuang di buku Catatan Seorang Demonstran. Ah Gie, andai kamu masih ada. Aku pasti sudah menaruh hati padamu. Begitu dalam.

Semakin menggali tentangnya, membuat aku bertekad untuk terus menulis kebenaran. Melalui keaktifanku di Pers Mahasiswa, perlahan aku mulai berani menulis. Menulis opini-opiniku mengenai lika-liku segala kehidupan dalam Kampus. Mengkritisi kebijakan-kebijakan lembaga dan yang lebih sering lagi mengkritik mahasiswa yang ngakunya aktivis tapi, entahlah. Ah aku benci harus menulis bagian ini. Tapi ini yang selalu ada dalam gejolak hatiku sampai saat ini. Selama menjadi wartawan kampus, aku menyaksikan semua hal yang terjadi di atas dan di belakang layar. Bertemu dengan berbagai macam manusia yang memiliki topeng amat banyak. Berseteru kesejahteraan, yang padahal demi kepentingan golongan. Ah aku tidak suka mereka. Saling menjatuhkan saat musyawarah, melalukan konsolidasi yang bagiku terlihat sebuah konsoli-dosa. Mereka yang berkoar tak suka pada staff pengajar otak mesum, padahal mereka sering memaksa berkenalan dengan selangkangan mahasiswi sana sini. Mereka yang siaga memberantas koruptor, tetapi memanipulasi dana organisasi bahkan memungut pungutan liar dari mahasiswa baru. Aku juga tak suka mereka yang setiap malam di bawah kolong langit kampus menghabiskan waktu dengan botol-botol orang tua.

Aku benar-benar tak melihat sosok Gie ada diantara mereka. Entah aku yang buta, atau memang mereka semua sama. Aku tak mengerti itu. Suatu hari, aku pernah menemukam yang seperti Gie. Aku begitu yakin saat itu. Tapi ternyata, Tuhan memang menciptakan makhluk-Nya bermacam-macam. Ia tak sama dengan Gie. Ia memutuskan untuk tidak mati muda dan memilih pergi dari kehidupan kampus. Mungkin menyerah atau keadaan yang menuntutnya harus mundur.

Selama 4 tahun berkehidupan di kampus, memang tak semua mahasiswa seburuk yang aku lihat dan simpulkan. Ada beberapa diantara mereka yang memiliki caranya sendiri untuk menegakan keadilan, memperjuangkan kesejahteraan dan bergerak dalam kebenaran. Semua mahasiswa memiliki versinya masing-masing. Termasuk aku. Aku memilih untuk tidak ke kanan atau ke kiri. Tidak berlatar eksternal merah, hijau, atau kuning, atau warna lainnya. Tidak juga aktif di fakultas atau juruan. Aku memilih untuk berani dalam menulis kebenaran. Melewati berbagai proses dan perjanalan demi menghasilkan tulisan utuh yang tersampaikan tepat pada para pembaca.

Gie, aku tahu betul bahwa aku tidak akan pernah bisa seperti dirimu. Tidak juga berhasil menemukan sosok sepertimu. Tapi Gie, kau selalu hidup dalam hatiku, hati kami semua yang selalu mengenang dirimu. Kami memang tidak bisa berjanji menjadi penghuni negeri yang baik, tapi aku berani jamin siapapun yang sudah berkenalan denganmu meski hanya lewat tulisanmu, ia akan terbuka melihat dunia. Melihat dari semua jendela. Hidup ini memang kejam ya Gie. Usai lulus kuliah, aku memang belum memutuskan dimana kaki ini mengabdi. Dimana aku akan diterima dan dimana aku mau. Tapi yang aku yakini, aku tak akan pernah berhenti menulis. Agar aksaraku akan abadi, seperti aksaramu yang tak pernah padam meski jaman silih berganti. Kau benar Gie, aku lebih memilih menjadi manusia yang merdeka dengan menulis. Daripada harus mengikuti arus atau menjadi apatis. Aku juga tidak memilih menjadi perempuan yang hanya mengurusi baju dan kecantikan. Tidak Gie. Yang terpenting bagiku adalah bermanfaat bagi orang banyak dan tidak membuat orang-orang merugi karena kehadiranku.

Terimakasih Gie. Kamu tidak pernah mati. Kamu akan selalu hidup bersama kami.

 

Siska Fajarrany

Instagram: Siskafajarrany


 

Aku Jatuh Hati pada Pemikiran dan Tulisan Gie.

SOE HOK GIE. Nama yang unik untuk kalangan tokoh perlawanan Indonesia. Sangat ketara bukan nama pribumi. Siapa sih orang ini, beberapa kali namanya muncul dalam sebuah iklan film di televisi? Dan keingintahuan itu hanya sepintas terbersit di benak kemudian enyah.

Ramadhan 2006 kebiasaan keluargaku mudik ke rumah nenek dari ibu ke Blitar. Ibuku naik bus sedangkan aku dan bapak naik motor. Perjalanan dari Probolinggo skitar 4-5 jam. Tapi sayangnya, malu kalau mau cerita, tapi yasudahlah.. Aku mabuk perjalanan ketika mulai memasuki kawasan kabupaten Malang. Padahal naik motor hehe. Kan memalukan ngga sih? Hehe..

Untungnya ada saudara tinggal di Malang, jadi bapak mengungsikanku di sana sedangkan bapak melanjutkan perjalanan. Sebenarnya ingin sekali ikut lanjut perjalanan bersama bapak, tapi dari kesedihan itu ternyata membawaku ke kisah hidup yang lain dan menjadi awal aku mengenal GIE.

Saudaraku ini kebetulan memiliki usaha penyewaan DVD Film waktu itu, jadi cukup membunuh kekecewaan karena banyak pilihan film2 di rumahnya. Daaaan.....sebuah judul menarik perhatianku. Tidak asing ketika kubaca. “GIE”, tanpa ragu aku masukkan ke DVD Player dan dari awal filmnya tak pernah sekalipun mengusik fokusku.

“Sampaikanlah pada ibuku..

“Aku pulang terlambat waktu

“Ku akan menaklukkan malam

“Dengan jalan pikiranku..

Lirik lagu itu selalu terngiang sejak pertama aku mendengarkannya. Benar ya, soundtrack dan pemeran dari sebuah film akan sangat mempengaruhi kesuksesan film itu sendiri. Nikholas Saputra, Bang Eross dan Okta juga  Riri Riza sungguh berhasil! Film GIE sukses telak bagi pribadiku. Aku yakin juga pada semua yang sudah menontonnya!

Gie adalah sosok yang sangat menginspirasi. Sangat sangat malah. Di usia mudanya sudah memiliki kepribadian yang sangat matang dan teguh pendirian. Berbeda dengan anak seusianya kala itu dan bahkan hingga saat ini. Aku 12 tahun ketika tau sosok Gie. Dan dia bisa benar-benar merubah cara berpikirku.

Pemikiran seorang Gie remaja bukan pemikirana remaja ingusan dan pubertas receh. Dia peberontak dan pengkritik, lebih dari itu, Gie juga pejuang keadilan, penuh belas kasih dengan hati nurani yang murni, jujur, dan terbuka.

Wawasannya yang luas soal musik, film, sastra tapi juga tak tertinggal dalam hal ilmu pengetahuan, politik, ideologi, dan juga cinta dengan alam. Satu paket komplit seorang aktifis yang tidak hanya modal mulut tapi juga otak dangan intensitas dan konsentrasi tinggi.

Gie memiliki banyak pemikiran cerdas, yang harusnya bukan hanya jadi cita-citanya sendiri. Isi pikirannya menginspirasi. Lewat tulisan, buku, dan semua opininya yang semua berdasar, tidak asal. Secerdas Gie, tidak akan memberikan omong kosong dan bualan semata. Apa yang dia katakan, cita-citakan tulus dari dalam hati. Semua itu tergambar nyata lewat semua tulisannya.

Aku masuk SMP ketika kegilaanku tentang Gie semakin menjadi. Aku cari biografinya di internet dan rajin sambang ke perpustakaan kota hanya untuk membaca ulang buku2nya.

“Lebih baik dikucilkan daripada menyerah pada kemunafikan”

Terpatri dalam hati. Hingga kini aku dewasa. Aku pernah dimusuhi oleh beberapa kawan, hanya karena tidak mau memberikan contekan saat ujian. Aku akan lemah dan menyerah jika tidak pernah tau sosok Gie sebelumnya.

“Guru yang tak tahan kririk boleh masuk kranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar dan murid bukan kerbau”

Surprise, Gie !! Aku kini seorang guru. Aku pernah berdebat dengan seorang muridku. Belum ada yang sekritis dirimu. Tapi satu hal yang kupegang teguh, aku bukanlah dewa dan tak akan jadi yang pantas masuk keranjang sampah. Muridku bukan kerbau, mereka adalah pensil kayu yang akan kuraut hingga runcing tapi kujaga agar tidak patah.

Gie, aku memang tidak seberani dirimu. Aku bukan pembela keadilan yang teguh. Aku bukan pemberontak dan penegak penyetaraan keadilan layaknya kamu. Tapi aku masih bisa membaca kebenaran. Dan selama aku hidup, akan aku ikhtiarkan semampuku. Sejauh Tuhan langkahkan kakiku, seluas Tuhan buka mataku. Karena ...

“Orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur”

 

Selamat jalan Gie, sampai jumpa di rumah kebenaran.

Nobody knows the troubles

I see nobody knows our sorrow

 Probolinggo, 2020

Ajeng Purwaning Asih

Instagram: @purwaning.ra

 


How I Know Him

Gie?? begitulah bertanya-tanya dalam hati, Siapakah Gie?? hingga dibuatkannya film berjudul GIE, film yang diperankan oleh Nicholas saputra sebagai sosok GIE. Saya pun mencari jawab akan tanya itu dengan menonton film itu hingga akhir dan dilanjutkan dengan browsing segala hal perihal sosok Gie ini, apakah apakah sosok Gie itu fiktif belaka??.

Seiring waktu saya mendapat jawaban, bahwa GIE adalah realita adanya hingga akhirnya saya membeli buku pertama tentang GIE yaitu SEKALI LAGI. Buku ini adalah bukan buku pertama tentang sosok Soe Hoe Gie, akan   tetapi buku ini sudah memberi awal bagi saya untuk mengenal sosoknya lebih dalam.

"Hanya ada 2 pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka", quote inilah yang membuat saya semakin kagum dengan sosok pria kelahiran 17 Desember 1942 ini. Dimana saat itu sangat timbul gejolak dalam diri untuk berani dan bisa beda dari ruang lingkup sosial, yang bagi saya sudah sangat tidak rasional untuk ditolerir.

Seiring waktu menjalani aktifitas sosial dan diiringi dengan terus membaca buku tentang Gie, saya semakin mendapatkan rasa percaya diri hingga perlahan-perlahan di implementasikan konsep hidup yang Gie berikan. Bahwasanya hidup menjadi manusia merdeka adalah anugerah tuhan yang maha esa.

Bukan hanya membentuk karakter manusia yang berani,  tapi sosok Gie juga memberikan saya belajar hidup empati. Dengan hidup empati, seharusnya sudah tidak ada lagi karakter manusia yang merintih saat tertindas dan menindas saat berkuasa. Dimana saat ini sudah terlalu semu segala tindakan heroik yang ada di depan mata, dimana sudah terlalu banyak project kepentingan.

Segala quote-quote yang dia katakan itu memang sangat realita adanya di setiap zamannya, "makhluk kecil kembalilah. Dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam ketiadaanmu". Dalam quote ini pula yang membuat saya selalu bahagia dalam ketiadaan tanpa harus "melacurkan diri" kepada sistem yang ada.

Pada akhirnya, sosok Gie sebagai inspirator bagi saya akan menjalani kehidupan sosial yang selalu timpang tapi tidak akan serasa timpang jika kita menjadi makhluk merdeka

Terima kasih Gie.

Rizal Fadillah

Instagram: @LDX_54


Gie Sang Inspirator

Sepuluh tahun yang lalu saat saya duduk di bangku kelas 2 SMA, untuk pertama kalinya saya mengenal sosok seorang Soe Hok Gie. Ketika kelas saya akan mengadakan sebuah ujian drama bahasa indonesia, seorang teman memberikan ide pada kelompok saya “gimana kalau kelompok kamu bawain kisah Gie aja?” begitu katanya waktu itu. Akhirnya teman saya itu merekomdasikan film GIE untuk menjadi bahan referensi kami. Sejak saat itulah saya tahu, bahwa saya telah jatuh hati pada sosok Soe Hok Gie, pada pemikiran-pemikiran idealisnya yang Ia tuangkan kedalam tulisan-tulisannya, pada puisi-puisinya yang romantis.

Di tahun 2012, entah sudah berapa kali saya sudah menyaksikan film GIE.  Disaat itu pula rasa kagum dan rasa cinta saya terhadap Gie makin menggila. Saat saya duduk di bangku kelas 3 SMA, saya mulai mencari buku-bukunya di toko buku meski hasilnya nihil saat itu. Lalu suatu hari saya ceritakan kekaguman saya terhadap Gie pada tante saya yang bekerja di Kompas Gramedia. Setelah itu saya dapat kiriman dari tante saya itu, dan ternyata saya dikirimi buku SOE HOK-GIE : Sekali Lagi yang langsung dari perpustakaan KG. Senangnya bukan main perasaan saya saat itu.

Di tahun 2013, ketika saya menjadi seorang mahasiswa. Tahun itu saya masih mencari buku-buku tulisan Gie. Suatu hari ketika saya berkunjung ke salah satu toko buku yang ada di Bandung, di salah satu raknya terdapat buku Catatan Seorang Demonstran. Tanpa pikir panjang saya langsung membeli buku itu. Di tahun 2013 juga saya pernah membuat tulisan tentang Gie. Tulisan itu saya beri judul “The Power of Soe Hok Gie”. Awalnya tulisan saya itu dibuat untuk memenuhi nilai mata kuliah kewarganegaraan dengan cara mengikuti lomba karya tulis. Tak disangka ternyata tulisan saya itu masuk 5 besar perlombaan karya tulis, dan saya satu-satunya mahasiswa yang berasal dari Fakultas Olahraga yang bisa masuk 5 besar. Saya tak pernah menyangka, sesuai dengan tulisan yang pernah saya buat “The Power of Soe Hok Gie” bisa benar-benar membawa saya sampai titik ini.

Ketika saya menjadi mahasiswa, saya juga mengisi waktu luang dengan masuk dalam organisasi mahasiswa. Saat saya berada di organisasi tersebut, apa yang digambarkan oleh Gie itu terasa nyata. Seperti dalam kutipan Gie yang satu ini : “Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.”
Kalimat itu benar-benar terasa nyata saat saya berorganisasi saat itu. Hingga akhirnya saya mewalan ketidak adilan yang ada, meski pada akhirnya saya tetap juga yang harus mengalah pada keadaan.

 Di akhir tahun 2016, menjadi sebuah pengalaman hidup yang takkan pernah saya lupakan. Di tahun itu saya mendaki gunung semeru. Iya mimpi yang saya pendam selama 4 tahun ketika mulai mengenal sosok Gie akhirnya menjadi sebuah kenyataan di tahun 2016 itu. Dan hingga sekarang pun Gie menjadi sosok inspirasi saya yang tak pernah tergantikan oleh siapapun, buku-bukunya yang selalu saya baca berulang-ulang, filmnya yang selalu saya tonton berulang-ulang, pemikiran-pemikirannya yang selalu saya teladani, puisi-puisinya yang selalu baca dan resapi berulang-ulang.

Gie...masih banyak kekaguman saya terhadapmu, tapi mungkin tulisan saya inipun takkan cukup mengisahkannya. Saya hanya bisa berterima kasih Gie. Terima kasih telah membuat saya tahu ada sejarah yang tak tertuliskan dalam buku sejarah yang pernah saya baca di masa sekolah. Terima kasih atas tulisan-tulisanmu yang selalu membuka cakrawala saya tentang dunia. Terima kasih telah pernah ada dan menuliskan pemikiran-pemikiran yang bisa membuat saya dan teman-teman terinspirasi. Terima kasih Gie untuk segalanya, Berbahagialah dalam ketiadaanmu.

By Ninis M

Instagram: @ninismsafitri



Catatan Pengagum Soe Hok Gie