![]() |
Perkenalkan, saya adalah seorang bocah
yang tidak tahu-menahu tentang apa yang terjadi pada negeri kita saat ini,
tentang demokrasi yang dikuasai oleh oligarki ataupun birokrasi yang tak bisa
menghalau korupsi. Hari-hari saya dipenuhi dengan rutinitas yang hampir saja
membuat saya kehilangan rasa humanitas. Tugas sekolah yang menumpuk,
pelajaran-pelajaran yang tidak dimengerti, dan media sosial yang terus meminta
saya untuk tinggal lebih lama, semakin membuat saya lupa bahwa hidup ini bukan
hanya tentang tugas dan instatory, dan langkah ini bukan hanya sebatas halaman
rumah ke sekolah. Lebih dari itu.
Ingat sekali waktu itu, saya sedang membaca buku yang berjudul Catatan
Juang karyanya Bung Fiersa Besari, pada halaman 53 munculah nama Soe Hok-Gie.
Disitu, tidak banyak sosok Gie diceritakan, tapi cukup membuat saya penasaran.
Soe Hok-Gie? siapa sih dia? nama ini terasa asing bagi saya karena sebelumnya
memang belum pernah mendengar, tidak dibuku sejarah ataupun sekolah. Setelah
buku catatan juang habis dibaca, nama Soe Hok-Gie tetap berputar-putar dalam
ingatan saya. Sayapun berniat mencari
tahu tentang Gie di internet. Mulai dari biografi, aksi demonstrasinya di tahun
66, keberaniannya mengkritik rezim Orde Lama dan Orde Baru, hingga kisahnya
yang mendaki ke gunung semeru. Rasa kagum saya meluap-luap ketika satu-persatu
artikel yang saya baca menceritakan tentang bagaimana dia mempertahankan
idealismenya. Tidak cukup hanya membaca artikel di
internet, saya pun mencoba menyisihkan uang jajan sekolah saya untuk membeli
salah satu buku Soe Hok-Gie. Buku pertama yang saya beli adalah buku yang
berjudul Soe Hok-gie …sekali lagi. Sayangnya, saya tidak
mempunyai teman yang bisa diajak berdiskusi tentang buku ini, tentang siapa
sosok pemuda yang pemberani dan idealis bernama Soe Hok-gie. karena pada saat
itu, teman-teman saya lebih suka membicarakan tentang novel cinta-remaja.
Hingga akhirnya saya memutuskan untuk membaca buku itu tanpa membahasnya dengan
orang lain. Suatu hari, saat saya memposting salah
satu kutipan Soe Hok-gie di internet, salah satu teman online saya membalas
postingan saya, dia mengatakan bahwa dia juga sangat mengagumi sosok pemuda
yang bernama Soe Hok-Gie ini, dan kami berujung membicarakan Gie melalui via chatting.
Senangnya bukan main saat ada teman yang bisa diajak ngobrol tentang Gie haha. Saya pertama kali mengenal Soe Hok-Gie
satu tahun yang lalu, tepatnya dikelas 11 SMA. Dan Gie selalu saya bawa kemana-mana, ketempat
ramai seperti disekolah ataupun tempat yang sepi seperti di daerah pesawahan.
Dimanapun itu, Gie berhasil menarik saya untuk menelusuri kisahnya lebih lama.
Pernah suatu ketika saat saya sedang membaca buku tersebut, seorang teman saya
bertanya bahwa apakah saya kuat membaca buku yang lumayan tebal tersebut? buku
non-fiksi lagi, saya jawab aja namanya juga suka mau gimana lagi? Hehe. Gie, keberanianmu terhadap kebenaran,
kejujuranmu dilautan kebohongan, keteguhanmu mempertahankan idealisme yang kamu
perjuangkan, perlawananmu melawan kemunafikan, benar benar membuat saya semakin
kagum pada sosok pemuda yang tidak dikenal banyak orang namun, berguna bagi
banyak orang. Di
dalam ruangan gelap yang penuh nyamuk itu, kamu tuangkan segala keresahanmu
tentang pemerintahan yang sudah carut-marut pada masanya, kritikan terhadap
orang-orang yang semakin hari semakin otoriter dan diktator, tentang
teman-temanmu yang kemudian lebih memilih menjadi bagian dari mereka, juga
tentang kisah cintamu yang kandas. Saya tau Gie, sesaat kamu merasa lelah dengan semua
yang kamu lakukan, kritikanmu membuat mu diasingkan, memiliki banyak musuh dan
kesepian. Seperti katamu di dalam buku itu, “saya berpikir,
apa gunanya semua yang saya lakukan? Saya menulis, melakukan kritik. Makin
lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan
kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa yang sebenarnya saya
lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan
tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang
konyol? Kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian.” Tapi tetap saja kamu bertahan dalam
langkah perjuangan. Dari sosok Gie
saya belajar bahwa jalan menuju kebenaran dan keadilan bukanlah jalan yang
mulus tanpa hambatan, tetapi harus siap menempuh jalan yang penuh kerikil dan bebatuan. Terimakasih
Gie, kamu telah memberikan semangat terhadap pilihan yang saya ambil, pada
keinginan yang saya semogakan, juga pada mimpi yang saya harapkan. Kamu
benar-benar luar biasa Gie! Gie, hingga akhir hayatmu pun, kamu tetap meninggalkan jejak. Seolah-olah kisahmu memang diperuntukkan bagi mereka yang sedang berjuang. Dan diatas puncak semeru yang gagah, ditengah asap belerang yang parah, kamu pergi. Katamu, “orang-orang seperti kita tidak pantas mati ditempat tidur” langkahmu memang tak pernah berhenti, tak pernah menyerah, terus melangkah menembus batas-batas pergerakkan, hinggga akhirnya kamu berbahagia dalam ketiadaan. Selamat jalan, Gie. Oleh: Wina Septianasari Instagram: @ winaasr_ |
Gie yang menginspirasi
![]() |
Kenangan
akan sosok Gie memilki makna yang sangat pribadi bagi saya. Bagi saya sosok Gie
adalah salah satu bagian terbaik dalam pencarian jati diri saya. Film layar
lebar tentangnya bagi saya merupakan salah satu pencapaian terbaik sineas
Indonesia di masanya. Catatan harian seorang demonstran adalah hari-hari masa sekolah
menengah saya.
Kisah
saya tentang Gie dimulai pada bulan Agustus 2005. Sebelumnya saya tidak
mengenal siapa Soe Hok Gie. Namun suatu malam saya diajak kakak saya untuk
menonton ke bioskop. Seingat saya saat itu ada dua film Indonesia yang tayang,
Catatan Akhir Sekolah dan GIE. Terus terang, saya sedikit pesimis tentang
perfilman Indonesia saat itu. Tapi untuk mengisi waktu, saya pun ikut dan film
pun dimulai. Film
Gie adalah suatu dokumenter yang cukup panjang bagi saya, 3 jam dan muatannya
cukup berat untuk saya yang duduk di akhir bangku SMP. Film itu menjelaskan
sosok Soe Hok Gie dalam ‘Pesta, Politik dan Cinta’. Saya masih ingat betul
waktu kira-kira film itu berjalan satu
jam lewat. Banyak penonton keluar dari studio, kira sepertiga yang hadir.
Memang hal-hal bermuatan politik, filosofis dan sejarah bukan barang laku di
negeri ini. Tapi buat saya malam itu, adalah malam yang cukup unik. Diluar
kelemahan-kelemahan teknis, tata bahasa, sinematografi, pemilihan pemeran dan
sebagainya bagi saya film GIE cukup menyajikan suatu pelajaran filosofis yang
beharga. Film itu membuat saya kembali optimis untuk membuka buku-buku sejarah
filosofis dan psikologi seperti yang Gie lakukan. Buku pertama yang saya
mencari buku Catatan Seorang Demonstran. Hari-hari awal saya di bangku SMA
dilalui dengan mebaca kisah-kisah hidup Gie. Kebetulan buku itu ada di
perpusatkaan SMA baru saya. Saya menyelesaikan buku itu kira-kira dalam dua
bulan, karena saya ingat harus dua minggu sekali kembali ke perpusatakaan untuk
memperpanjang peminjaman buku itu. Berdasarkan
film dan buku harian, bagi saya sosok Gie adalah seorang intelektual muda yang
sangat idealis. Gie memandang kehidupan dengan nalurinya sebagai manusia dan
standar kemanusiaan yang apa adanya. Ada beberapa hal-hal yang dia ungkapkan
dengan sangat jujur, sederhana namun sangat dalam, bagi saya itu tidak
terlupakan. Hal yang menarik juga adalah ia hidup di masa peralihan antara orde
lama dengan orde baru, sehingga latar waktu sangat menjelaskan bagaimana cara
berpikir Gie sehubungan dengan kekuasaan, kemanusiaan, politik, penindasan dan
ketidakadilan. Jelaslah meski secara fisik Gie kecil kurus bukan seperti
Nicholas Saputra, namun dia memiliki mimpi yang besar. Secara
politik, buat saya Gie sangat otentik, jernih dan jujur. Saya memang belum
pernah bertemu langsung dengannya juga membaca seluruh narasi atau sumber
informasi tentang Gie. Saya juga tidak tahu persis apa orientasi politiknya.
Namun mengapa saya punya alasan mengatakan dia cukup jernih. Biasanya seseorang
yang memandang periode peralihan orde lama ke baru akan terbagi menjadi dua
kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang mengharamkan itu terjadi, mereka
adalah pendukung Soekarno garis keras, yang menganggap pencapaian orde lama
khususnya dalam bidang social politik sangat hebat dan melupakan betapa
terpuruknya ekonomi Indonesia saat itu. Dan Kelompok kedua adalah kelompok pro orde
baru, yang sangat menjunjung Soeharto dan militer sebagai pahlawan baru di
Indonesia. Namun Gie dalam film dan tulisannya berada di luar daridada dua
kelompok tadi. Gie
memandang orde lama sebagai kelompok tua yang dia katakan dalam bukunya
seharusnya terbunuh di lapangan Banteng. Sementara dia juga mulai ‘ragu’ dengan
orde baru yang baru beberapa tahun saja berkuasa. Bagi saya Gie bukan seorang
politikus, dia seorang sejarahwan yang humanis tapi cukup aktif menyuarakan apa
yang dia rasakan melalui posisinya sebagai mahasiswa dan pengajar saat itu. Namun
bagi saya, hal yang paling menarik dari Gie adalah sisi kemanusiaan dan
keresahannya. Gie banyak mempertahakan hal-hal yang sebenarnya paling hakiki
dalam kehidupan. Dia bertanya tentantgtujuan hidup yang tidak satu setan pun
tahu, dai resah tentang anggota dewan yang sudah nyaman dibawah kekuasaan dan
bahkan lingkungan pengajar UI yang tidak ideal. Awalnya saya berpikir bahwa Gie
sikapnya itu terlalu kritis. Akan
tetapi, dalam salah satu tulisannya dia mengatakan apakah sejarah tidak akan
tercipta tanpa penindasan. Dia juga mengatakan bahwa seorang sejarahwan adalah orang
yang akan menjadi pesimis, karena mereka adalah orang yang paham masa lalu,
hari ini dan kira-kira apa yang akan terjadi sebentar lagi. Pola sejarah
manusia selalu berulang revolusi, berkembang, maju, depresi, peperangan dan
perebutan kekuasaan adalah suatu lingkaran yang senantiasa berputar. Sehingga
cocok jika Gie mengatakan sejarah tak akan tercipta tanpa kekerasan, karena
itulah yang nyata terjadi. Hal
itu menimbulkan pertanyaan : Untuk apa manusia diciptakan dan lahir ? Bukankah
lebih baik baginya tidak dilahirkan, mati muda dan yang tersial adalah umur
tua. Pertanyaan-pertanyaan Gie ini mengusik pencarian jati diri saya. Ini
sangat pribadi, dan sosok Gie membuat saya kembali mencari jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan itu. Membaca lebih banyak buku dan berupaya menjadi lebih
manusiawi dalam memandang kehidupan saya dan orang lain. Ada
satu lagi keunggulan yang Gie miliki dia sangat jujur dan berani. Mungkin ini
karena kita membaca buku hariannya, suatu hal yang sebenarnya sangat intim dan
pribadi. Sebagai contoh dia memandang agama bukan sebagai filosofis tapi
mengenai keseharian. Seperti kata Kahlil
Gibran agama adalah keseharianmu. Maksudnya nilai agama seharusnya membantu
seseorang lebih manusiawi dan beradap, bukan sebagai pendakwah tapi melupakan
atau tidak peduli dengan hal-hal yang ada disekelilingnya. Saya masih ingat
betul Gie dalam catatan seorang demonstran pernah berpikir lebih baik bantuan
berupa makanan daripada kitab suci dalam suatu bencana. Hal
ini memberi saya pelajaran penting yakni agama atau ketuhanan itu penting. Tapi
itu dapat dinilai bukan soal dari pengetahuan , penampilan luar atau apa yang
dikatakan. Itu yang biasanya manusia nilai. Tapi itu nyata dari tindakan
seseorang. Sebagai contoh, kalau dia seorang pria dan dia menganggap dirinya
bertuhan. Apakah dia seorang ayah yang baik? Apakah dia memberi nafkah
keluarganya? Apakah dia setia pada pasangannya? Lebih jauh bagaimana dia
memperlakukan orang lain terutama pada saat ada kesulitan. Bagiamana reaksinya
melihat ketidakadilan? Seharusnya nilai-nilai yang baik termasuk agama membuat
seseorang menjadi manusia yang lebih utuh dan humanis serta memiliki moral yang
lebih baik. Pelajaran
terpenting inilah yang saya dapatkan dari seorang Soe Hok Gie. Keresahan dan
pertanyaanya membuat saya optimis kembali mencari jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan Gie dalam Alkitab. Bukan bermaksud menggurui atau
menjelaskan soal iman pribadi saya, ini hanya sekedar menceritakan kisah saya
dan sosok Gie. Gie merindukan dunia yang bebas dari penyakit dan penderitaan,
saya menemukan jawabannya dalam Kitab Wahyu 21 : 3,4. Dunia saat ini penuh duka
dan air mata, sejarah tak pernah ada tanpa kekerasan. Saya yakin bahwa manusia
manapun dan seperti yang Gie lakukan, perjuangan seperti apapun tidak akan
merubah dunia ini menjadi tempat yang lebih baik. Hanya kepada Tuhanlah saya berharap. Saya percaya seperti halnya kasih dan kemanusiaan yang Gie miliki, Tuhan jauh lebih baik daripada itu. Dia pribadi yang sangat baik dan saya percaya Dia tidak pernah menyiksa makhluk-mahkluk ciptaannya di neraka, suatu hal kalau Dia lakukan maka standar moralnya jauh dibawah manusia-manusia yang tidak sempurna. Saya yakin manusia tidak mempunyai kekuatan untuk menentukan langkahnya. Makhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada, berbahagialah dengan ketiadaanmu. Maka seperti kata Gie kebenaran hanya ada diatas dan dunia ini adalah palsu, palsu. Ferdy Christianto Instagram: @ferdychristianto |
Soe Hok-gie
![]() |
Saya Afandi, seorang
siswa yang masih duduk di bangku kelas X Sekolah menengah atas di salah satu
sekolah ternama di daerah saya. Sejak saya SD Hingga SMP, saya memiliki
ketertarikan terhadap buku dan film terlebih lagi yang bercerita mengenai
sejarah perjuangan tokoh-tokoh bangsa. Di mulai ketika saya menonton sebuah
film tahun '80 an yang bercerita tentang penumpasan pengkhianatan
G30S-PKI yang membuat saya semakin penasaran tentang bagaimana kehidupan bangsa
Indonesia di masa tersebut. Berbagai E-book saya cari di internet, membaca
buku-buku di perpustakaan, hingga berdiskusi dengan guru saya mengenai
kehidupan orang-orang di masa orde lama. Sebagai seorang anak yang banyak ingin
tahu, saat itu saya merasa kurang puas dengan informasi yang telah saya dapatkan.
Maka dari itu saya mencari lebih banyak lagi informasi dengan berkunjung ke
perpustakaan daerah dan mencari referensi- referensi mengenai film film yang
membahas tentang sejarah bangsa.
Ketika itu, muncul sebuah notifikasi
rekomendasi film dari salah satu platform film yang berlogo huruf N berwarna
merah, yang menunjukan cover seorang aktor kebanggaan Indonesia yang dibawahnya
tertulis nama GIE. Seketika saya penasaran dan dengan film tersebut, ditambah
pemeran utamanya adalah aktor kebanggan bangsa yang banyak meraih gelar di
dunia perfilman tanah air, siapa lagi kalau bukan Nicholas Saputra. Membaca
deskripsi dari film tersebut membuat saya semakin penasaran, pada akhirnya,
saya memutuskan untuk mengunduh film tersebut dan menontonnya ketika waktu
senggang. Pertama kali saya menontin film tersebut, saya belum terlalu paham
dengan jalan ceritanya. Tetapi tidak menyurutkan semangat saya untuk terus
menontonnya. beberapa kali Saya tergecak kagum ketika sang pemeran utama
membaca quote-quotenya di beberapa adegan. "Guru yang tak tahan kritik
boleh masuk keranjang sampah. guru bukan dewa dan selalu benar dan murid bukan
kerbau". quote pertama yang menyentuh hati saya dari sang pemeran utama
yaitu seorang pejuang keadilan yang hidup di masa orde lama. Setelah menonton
film tersebut, saya di seolah-olah diberi PR oleh sang sutradara film untuk
mencari siapa sosok Soe Hok Gie itu. Berbagai E-Jurnal, artikel, dan
berita-berita yang memuat kisah beliau saya cari di internet. Biografi, kisah
perjuangan, dan kontribusi beliau adalah tujuan utama yang saya cari demi bisa
memuaskan rasa penasaran saya tentang beliau. untuk kedua kalinya, saya
nenonton film tersebut lagi. Disini saya sudah paham dengan bagaimana jalan
cerita film tersebut. saya semakin berdecak kagum dengan perjuangan beiau. Saya
mulai terbawa suasana masa masa orde lama ketika menonton ataupun membaca kisah
tentang beliau. sebab itulah, beberapa pelajaran yang saya dapat dari beliau
saya petik dan berusaha agar bisa dterapkan pada kehidupan saya. Bagai angin berlalu, tiba tiba tercetus ide di
pikiran saya untuk menulis sebuah artikel inspiratif dan mengirimkannya di
Koran. Ketika itu saya berpikir bahwa Gie melakukan hal tersebut untuk
menginspirasi banyak orang, mengapa saya tidak melakukan hal yang sama?. Sebab
itulah saya menulis sebuah artikel mengenai nilai kepemimpinan bagi generasi
muda dan mengirimkannya di Koran serta mengatasnamakan sebagai seorang siswa
SMA. Hal tersebut berjalan mulus. Hingga akhirnya saya di tunjuk oleh sekolah
untuk mengikuti lomba karya penulisan dan mewakili nama sekolah. Ketika membaca
tema dari lomba tersebut yaitu mengenai nilai kepahlawanan bagi generasi muda, tercetus
ide di kepala saya untuk mengangkat Soe Hok Gie sebagai topik karya
penulisanya. Saya menulis biografi, kontribusi dan pelajaran yang saya petik
dari kisah beliau yang dikutip dari berbagai jurnal, buku, dan film tentang
beliau. Hingga lahirlah sebuah karya, "Kini yang berguru pada lampau: Soe
Hok Gie sang Demonstran keadilan" Begitulah judulnya. Walaupun saya belum berkesempatan untuk mendapatkan gelar juara, tetapi saya merasa bangga bisa mengangkan beliau sebagai topik penulisan saya. Terlebih lagi, banyak dari teman-teman segenerasi saya yang baru mengetahui beliau setelah membaca karya tulisan saya. Berbgai manfaat saya dapatkan setelah mengetahui kisah isnpiratif dari perjuangan seorang aktivis muda yang hidup di masa orde lama tersebut. saya bisa mulai belajar untuk meneladani sikap beliau, dan mulai belajar untuk bersikap kritis terhadap permasalahan yang terjadi di sekitar saya. Saya berharap kedepannya nanti, muncul Soe Hok Gie- Soe Hok Gie berikutnya, yang dapat bergerak atas dasar kemanusiaan dan prinsip untuk memajukan bangsa. -Ternate, 27 Agustus 2020- Muh. Afandi Instagram: @muh.afandii |
Soe Hok Gie: Aktivis Keadilan Yang Lahir Di Benak Atas Prinsip Rasa Ingin Tahu
![]() |
“Perempuan akan selalu di bawah laki-laki
kalau yang diurusi hanya baju dan kecantikan”
Kutipan di atas merupakan salah satu pemikiran
dari Soe Hok Gie yang selalu saya pegang hingga hari ini. Kalimat itu meninggalkan
kesan yang mendalam bagi saya ketika saya pertama kali membacanya. Menurut saya
pendidikan bagi seorang perempuan sangatlah penting karena perempuan merupakan
tiang bagi suatu bangsa bangsa. Ada sebuah pepatah yang mengatakan, “Jika
ingin menghancurkan sebuah negara, maka hancurkan moral wanitanya”. Saya
sendiri merupakan seorang anak pertama dari sebuah keluarga sederhana yang
kebetulan juga terlahir sebagai seorang anak perempuan. Saya tidak mengharapkan
banyak hal dalam kehidupan saya, tapi dari dulu saya memang sangat ingin
berkuliah. Saya berasal dari latar belakang orang tua yang sama sekali tidak
pernah merasakan bangku kuliah yang awalnya masih berpikir bahwa bagi anak
perempuan, kuliah tidak terlalu penting. Akan tetapi seiring dengan berjalannya
waktu, Tuhan memberikan jalan kepada saya dan membuka pikiran kedua orang tua
saya untuk merestui jalan saya menuju dunia perkuliahan hingga akhirnya saya
diterima di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di kota tempat saya tinggal. Tanggal 18 Desember 2016, beberapa
minggu lagi saya akan menjalani orientasi di salah satu Perguruan Tinggi Negeri
dan malam itu juga merupakan malam perkenalan saya dengan sosok Gie. Saya
merasa bahwa semesta ingin memberi saya bekal sebelum saya menjadi seorang calon
mahasiswa baru. Jika orang lain mengenal sosok Gie dari buku atau film, saya
justru mengenal Gie dari keisengan saya bermain facebook. Saat itu saya
melihat ada teman yang membagikan tautan yang menceritakan mengenai sosok Pemuda
Indonesia yang merdeka lengkap dengan menunjukkan foto Gie yang sedang duduk
bersila dan mencakupkan kedua tangan sambil tersenyum. Saya melihat foto itu
lekat-lekat dan bertanya dalam hati, Siapa
pemuda ini ? Kenapa saya tidak pernah melihat fotonya di buku-buku sejarah
sekolah? Lalu kenapa ada tautan tentang kemerdekaan padahal ini bukan hulan
Agustus ? Berbekal dengan semua pertanyaan itu akhirnya saya membuka tautan tersebut
dan siapa yang menyangka saya langsung jatuh hati pada Gie, seorang kaum
intelektual yang bebas dan merdeka. Setelah malam itu berlalu, hari-hari
selanjutnya saya selalu dihantui rasa penasaran akan sosok Gie. Semua usaha
saya lakukan mulai dari berselancar di internet, pergi ke toko buku, hingga ke
perpustakaan daerah agar saya bisa mengenal sosok Gie lebih dalam. Semakin saya
mengenalnya rasanya saya semakin mencintainya. Saya begitu kagum karena ada
seorang anak muda yang bisa begitu besar keresahannya terhadap tangisan rakyat
yang lemah. Pemikirannya begitu dalam dan kritis menggambarkan sesosok kaum
intelektual yang tidak hanya mementingkan diri sendiri tapi mementingkan
rakyat. Beliau sadar betul bahwa mahasiswa itu tidak bisa hanya duduk dan
belajar, tapi mahasiswa harusnya bisa memberi peran nyata bagi masyarakat. Gie tidak takut jika dia harus
diasingkan, daripada harus menjadi munafik, beliau sendiri sadar bahwa menjadi
diasingkan merupakan resiko dari pemberontakan. Gie begitu tulus dalam setiap
gerakannya membantu rakyat, tanpa ada keinginan untuk cari muka ataupun
keinginan untuk mmendapat jabatan. Itulah yang membuat saya merasa memiliki
tanggung jawab sebagai seorang calon mahasiswa, bahwa menjadi mahasiswa berarti
kita menjadi penerus bangsa dan juga sebagai agen perubahan menuju bangsa yang
lebih baik. Malam itu, tanggal 18 Desember 2016
menjadi awal mula diri saya yang baru. Bahkan hingga saat ini saya selalu merasa
Gie punya tempat tersendiri di hati saya, mungkin karena saya bertumbuh bersama
dengan pemikiran-pemikirannya dan menghabiskan masa kuliah saya dengan mencoba melihat
dari sisi seorang Gie. Saya merasa saya adalah sedikit dari insan yang
beruntung karena saya perempuan yang bisa berkuliah dan juga berkesempatan
mengenal bahkan mencintai sosok Soe Hok Gie. Yeah, I’m the happy selected
few. Ni Luh Putu Widyantari Instagram : @widyantari999 |
THE HAPPY SELECTED FEW
Alam Itu Seperti Pikiranmu Gie
Menemukan Gie Di Balik Rasa Kantuk