“Cerita
adalah jalan yang bisa membuat seseorang memahami cinta.” (Agus Noor, 2020)
Namanya
terselip di akhir perbincangan singkat kami perihal kerusuhan di Jakarta tahun
1998. “Coba baca buku biografi Soe Hok Gie,” kata Bu Gita, rekan kerja saya
yang lahir besar di Jakarta dan sempat merasakan suramnya ibukota pada tahun
itu. Gie bukan seorang mahasiswa aktivis yang terlibat pada tragedi tersebut
karena ia sendiri telah menemui keabadian hidupnya sebelum menyaksikan Soeharto
turun takhta. Namun entah mengapa Bu Gita menyarankan kami, gadis-gadis berumur
dua puluhan yang berasal dari kampung dan buta akan peristiwa-peristiwa
bersejarah di Indonesia untuk membaca buku tentang Soe Hok Gie setelah kami
membahas secuil kisah memilukan tersebut. Saat itu, saya belum memiliki rasa
antusias untuk mencari Gie. Saya hanya melihat sebentar videonya di youtube
lalu membaca artikel-artikel daring terkait peristiwa tragis 1998.
Dan
tanpa direncanakan, di sore hari sebelum pulang kerja, kami bertemu kembali
dengan Bu Gita. Meskipun pembahasannya masih tentang sesuatu yang sadis, namun
di pertemuan kali itu, kami membahas Partai Komunis Indonesia (PKI). Kami
mendengar ketidakadilan terjadi pada keluarga yang salah satu anggota
keluarganya pernah terlibat dengan PKI. Mereka dicap buruk dan kesulitan mencari
pekerjaan padahal mereka tidak melakukan kejahatan. Cerita seperti ini tidak
saya temui selama saya mengikuti mata pelajaran Sejarah di sekolah (SMP dan
SMA). Lagi-lagi, di akhir cerita, Bu Gita merekomendasi kami untuk membaca buku
terkait Soe Hok Gie.
Karena
sudah disebutkan lebih dari sekali, saya menjadi penasaran dengan sosok
tersebut. Setiba di kamar indekos, saya membuka kembali youtube tapi belum
menemukan sesuatu yang istimewa dari seorang Gie. Akhirnya rasa penasaran saya
cukup sampai di situ. Tibalah suatu hari, di tengah jam kerja, kepala saya
hampir mendarat di meja karena kantuk yang hebat. Tidur di meja pada jam kerja
adalah hal yang sangat terlarang bagi seorang petugas perpustakaan meskipun
pekerjaan rutinnya telah selesai. Akhirnya saya putuskan menghampiri rak 9XX
(Geografi dan Sejarah) dengan harapan satu langkah kaki saya dapat mencelikkan
mata saya. Saya amat-amati buku mana yang akan saya baca, ternyata buku
Multatuli berjudul Max Havelaar cukup menggoda. Saya ambil buku tersebut lalu
kembali ke meja untuk bertamasya. Baru menjalani beberapa lembar, rasa kantuk
mencobai saya lebih keras. Saya kembali ke rak 9XX, mencari-cari buku pengganti
yang kira-kira mampu menghentikan pencobaan itu. Saya lirik dari susunan paling
atas sampai bawah, dan akhirnya mata kami bertemu: mata saya dan mata Gie dalam
sampul buku Soe Hok Gie…Sekali Lagi (versi lama). Suara Bu Gita terngiang di
kepala saya, dan akhirnya dengan mantap saya menerima uluran tangannya. Bukan
saya yang membawa Gie ke meja saya, tapi teman-temannya yang mengiring saya
untuk duduk manis demi mendengarkan suara mereka tentang pemuda yang idealis.
Ternyata
buku tebal bernilai histori tersebut ampuh mengusir rasa kantuk, menyalakan
semangat yang sempat redup karena jam kerja yang belum berakhir. Siapa sangka,
bagian pertama yang dikisahkan oleh Rudy Badil sanggup menguasai hati saya
sampai saya tidak kuasa menahan air mata. Ada yang paling diingat ketika jatuh
cinta pertama kali pada seseorang atau saat pertama kali bertemu dengan sesosok
yang istimewa. Di pertemuan pertama saya dengan Gie oleh rekan-rekan dan mereka
yang menyayanginya, Gie menampilkan kekeraskepalaannya dengan logika yang
jernih (Rudy Badil menyebutkan, tiap berdebat, Soe Hok Gie selalu memakai data
dan logika yang cerah). Karakternya tersebut yang membuat saya mulai jatuh hati
dan bersemangat mendengar kisah-kisahnya, kantuk pun melarikan diri. Tanpa
sadar, saya harus berbenah karena jam kerja sudah berakhir: perpustakaan harus
ditutup!
Cerita
tentang kekeraskepalaan Gie disambung dengan kecerdasan, keberanian, dan
ketangguhannya. Saya pikir ia adalah seorang pemuda dengan segala kelimpahannya
dari Sang Pencipta. Tentu tak sedikit orang yang cerdas, berani, tangguh dengan
prinsip pribadinya yang kuat. Lalu, apa yang membuat Gie berbeda dengan yang
lain? Gie berani maju melawan ketidakadilan dengan segala risiko, Gie tidak
bungkam akan kemunafikan khususnya di bawah pemerintahan Soekarno, Gie mengecam
tindakan balas dendam kepada mereka yang pernah berlaku sewenang, Gie tidak
pandang bulu, Gie punya air mata dan hati! Akhirnya saya mengerti mengapa saat
bercerita tentang PKI dan kasus 1998 (meskipun tidak ada seorang Gie di sana),
Bu Gita menyarankan kami membaca buku biografi Soe Hok Gie atau yang terkait
dengannya. Gie adalah salah satu pendemo yang berani turun ke lapangan karena
sungguh-sungguh memikirkan nasib bangsa.
Dari
penuturan sahabat-sahabat sekaligus mereka yang menyayangi Gie, saya tahu bahwa
Gie bukan orang yang sembarangan. Karakternya yang kuat di usia muda membuat
Gie dicintai oleh orang-orang yang mencintai kejujuran dan prinsipnya teguh di
tengah kebobrokan hidup menjadi teladan bagi saya hingga detik ini
Instagram:
@deswitapanjaitan
|
Bagus sekali, cukup dalam pengenalan sosok Gie. Gie, sekali lagi memang hanya manusia, tapi selain cerdas, idealis dan berani, bagi saya ia juga seorang yang mudah iba hati. Itu penting dalam hidup bermasyarakat
BalasHapus