Aku Jatuh Hati pada Pemikiran dan Tulisan Gie.

Tidak ada komentar

2015, aku adalah bocah yang begitu tak sabar berlabel Maha. Meski tidak berada di Perguruan Tinggi impian dan jurusan idaman, tapi saat pertama kali menginjakkan kaki di sana, aku sudah bertekad untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan. Kata orang, menjadi mahasiswa itu menyenangkan. Kau bisa melakukan apapun tanpa pernah takut berbuat salah. Katanya lagi, hal yang wajar saat masih belajar melakukan kesalahan, termasuk saat menjadi mahasiswa. Entahlah, yang aku pikirkan hanya hal-hal baru yang nampak begitu menyenangkan di Priangan Timur Jawa Barat itu.

Begitu gagah melihat kakak-kakak berlabel eksekutif memperkenalkan diri di hadapan maba (Mahasiswa Baru) polos. Aku sempat berpikir untuk menjadi salah satu diantaranya suatu saat nanti. Lambat laun, keinginan itu tak jadi ku kejar saat aku menyadari perbedaan antara aku dan budaya di sana. Ya, mereka begitu asyik setiap tahunnya menggelar acara hura-hura. Entah esensinya apa, yang terpenting eksis, hits, sponsor banyak dan jalan-jalan di akhir periode kepengurusan. Aku tak mau mengerti dari sisi sebelah mana mereka memandang itu semua menjadi landasan kesuksesan ormawa (Organisasi Mahasiswa).

Singkat cerita, aku memutuskan untuk daftar pada salah satu UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang tak terlalu banyak diminati, Pers Mahasiswa. Dari kecil, aku memamg suka menulis. Pikirku lebih baik kembali mengasah kemampuan menulis daripada bergabung dengan ormawa penggelar acara DJ setiap tahun. Jurnalistik ternyata begitu luas. Aku tak hanya dituntut untuk mampu menulis, mewawancarai, menganalisis atau peka terhadap lingkungan. Pencarian jati diri selama di Persma membuat aku tersadar untuk melepas segala embel-embel yang melekat pada diri pribadi, mulai dari fakultas, jurusan, teman, orang yang dibenci, saudara, kerabat, keluarga bahkan cinta saat aku terjun ke lapangan untuk mencari kebenaran.

September 2015, pertama kalinya aku piket di sekretariat Persma. Kegiatan piket begitu sederhana, hanya berdiskusi dengan senior atau melempar tawa bersama sesama calon anggota. Kami sebagai mahasiswa baru, bocah ingusan polos yang bermaksud mencari kesenangan dalam berorganisasi, hanya bisa menggeleng saat salah satu senior bertanya, "Ada yang tahu Soe Hok Gie?" Sang senior begitu kaget bercampur kecewa melihat respon kami. "Kalian calon jurnalis, malu-maluin gak tahu Soe Hok Gie!" Kekecewaannya berdampak dengan tambahan tugas baru. Kami diwajibkan menonton Film Gie malam itu juga di kossan masing-masing, karena esok kami harus sudah berkumpul untuk mengkaji bersama film itu. Usai kajian Film Gie, aku semakin penasaran dengan sosok Gie. Sepintas aku berpikir, "Apakah sosok seperti Gie ada diantara mahasiswa masa kini?"

Januari 2016, usai resmi dilantik menjadi Anggota Persma, aku pulang ke kampung halaman. Menghabiskan waktu libur 1 minggu dengen menjelajahi toko buku emperan di Jatinangor. Disanalah aku kembali terusik dengan sosok Gie. Berdiskusi dengan beberapa pemilik toko buku yang ternyata banyak mengetahui tentang Gie. Akhirnya aku memutuskan untuk membeli beberapa bukunya, yang tentu salah satunya Catatan Seorang Demonstran. Aku benar-benar sudah jatuh hati pada setiap pemikirannya yang tertuang di buku Catatan Seorang Demonstran. Ah Gie, andai kamu masih ada. Aku pasti sudah menaruh hati padamu. Begitu dalam.

Semakin menggali tentangnya, membuat aku bertekad untuk terus menulis kebenaran. Melalui keaktifanku di Pers Mahasiswa, perlahan aku mulai berani menulis. Menulis opini-opiniku mengenai lika-liku segala kehidupan dalam Kampus. Mengkritisi kebijakan-kebijakan lembaga dan yang lebih sering lagi mengkritik mahasiswa yang ngakunya aktivis tapi, entahlah. Ah aku benci harus menulis bagian ini. Tapi ini yang selalu ada dalam gejolak hatiku sampai saat ini. Selama menjadi wartawan kampus, aku menyaksikan semua hal yang terjadi di atas dan di belakang layar. Bertemu dengan berbagai macam manusia yang memiliki topeng amat banyak. Berseteru kesejahteraan, yang padahal demi kepentingan golongan. Ah aku tidak suka mereka. Saling menjatuhkan saat musyawarah, melalukan konsolidasi yang bagiku terlihat sebuah konsoli-dosa. Mereka yang berkoar tak suka pada staff pengajar otak mesum, padahal mereka sering memaksa berkenalan dengan selangkangan mahasiswi sana sini. Mereka yang siaga memberantas koruptor, tetapi memanipulasi dana organisasi bahkan memungut pungutan liar dari mahasiswa baru. Aku juga tak suka mereka yang setiap malam di bawah kolong langit kampus menghabiskan waktu dengan botol-botol orang tua.

Aku benar-benar tak melihat sosok Gie ada diantara mereka. Entah aku yang buta, atau memang mereka semua sama. Aku tak mengerti itu. Suatu hari, aku pernah menemukam yang seperti Gie. Aku begitu yakin saat itu. Tapi ternyata, Tuhan memang menciptakan makhluk-Nya bermacam-macam. Ia tak sama dengan Gie. Ia memutuskan untuk tidak mati muda dan memilih pergi dari kehidupan kampus. Mungkin menyerah atau keadaan yang menuntutnya harus mundur.

Selama 4 tahun berkehidupan di kampus, memang tak semua mahasiswa seburuk yang aku lihat dan simpulkan. Ada beberapa diantara mereka yang memiliki caranya sendiri untuk menegakan keadilan, memperjuangkan kesejahteraan dan bergerak dalam kebenaran. Semua mahasiswa memiliki versinya masing-masing. Termasuk aku. Aku memilih untuk tidak ke kanan atau ke kiri. Tidak berlatar eksternal merah, hijau, atau kuning, atau warna lainnya. Tidak juga aktif di fakultas atau juruan. Aku memilih untuk berani dalam menulis kebenaran. Melewati berbagai proses dan perjanalan demi menghasilkan tulisan utuh yang tersampaikan tepat pada para pembaca.

Gie, aku tahu betul bahwa aku tidak akan pernah bisa seperti dirimu. Tidak juga berhasil menemukan sosok sepertimu. Tapi Gie, kau selalu hidup dalam hatiku, hati kami semua yang selalu mengenang dirimu. Kami memang tidak bisa berjanji menjadi penghuni negeri yang baik, tapi aku berani jamin siapapun yang sudah berkenalan denganmu meski hanya lewat tulisanmu, ia akan terbuka melihat dunia. Melihat dari semua jendela. Hidup ini memang kejam ya Gie. Usai lulus kuliah, aku memang belum memutuskan dimana kaki ini mengabdi. Dimana aku akan diterima dan dimana aku mau. Tapi yang aku yakini, aku tak akan pernah berhenti menulis. Agar aksaraku akan abadi, seperti aksaramu yang tak pernah padam meski jaman silih berganti. Kau benar Gie, aku lebih memilih menjadi manusia yang merdeka dengan menulis. Daripada harus mengikuti arus atau menjadi apatis. Aku juga tidak memilih menjadi perempuan yang hanya mengurusi baju dan kecantikan. Tidak Gie. Yang terpenting bagiku adalah bermanfaat bagi orang banyak dan tidak membuat orang-orang merugi karena kehadiranku.

Terimakasih Gie. Kamu tidak pernah mati. Kamu akan selalu hidup bersama kami.

 

Siska Fajarrany

Instagram: Siskafajarrany


 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar