Soe Hok-gie
![]() |
Kenangan
akan sosok Gie memilki makna yang sangat pribadi bagi saya. Bagi saya sosok Gie
adalah salah satu bagian terbaik dalam pencarian jati diri saya. Film layar
lebar tentangnya bagi saya merupakan salah satu pencapaian terbaik sineas
Indonesia di masanya. Catatan harian seorang demonstran adalah hari-hari masa sekolah
menengah saya.
Kisah
saya tentang Gie dimulai pada bulan Agustus 2005. Sebelumnya saya tidak
mengenal siapa Soe Hok Gie. Namun suatu malam saya diajak kakak saya untuk
menonton ke bioskop. Seingat saya saat itu ada dua film Indonesia yang tayang,
Catatan Akhir Sekolah dan GIE. Terus terang, saya sedikit pesimis tentang
perfilman Indonesia saat itu. Tapi untuk mengisi waktu, saya pun ikut dan film
pun dimulai. Film
Gie adalah suatu dokumenter yang cukup panjang bagi saya, 3 jam dan muatannya
cukup berat untuk saya yang duduk di akhir bangku SMP. Film itu menjelaskan
sosok Soe Hok Gie dalam ‘Pesta, Politik dan Cinta’. Saya masih ingat betul
waktu kira-kira film itu berjalan satu
jam lewat. Banyak penonton keluar dari studio, kira sepertiga yang hadir.
Memang hal-hal bermuatan politik, filosofis dan sejarah bukan barang laku di
negeri ini. Tapi buat saya malam itu, adalah malam yang cukup unik. Diluar
kelemahan-kelemahan teknis, tata bahasa, sinematografi, pemilihan pemeran dan
sebagainya bagi saya film GIE cukup menyajikan suatu pelajaran filosofis yang
beharga. Film itu membuat saya kembali optimis untuk membuka buku-buku sejarah
filosofis dan psikologi seperti yang Gie lakukan. Buku pertama yang saya
mencari buku Catatan Seorang Demonstran. Hari-hari awal saya di bangku SMA
dilalui dengan mebaca kisah-kisah hidup Gie. Kebetulan buku itu ada di
perpusatkaan SMA baru saya. Saya menyelesaikan buku itu kira-kira dalam dua
bulan, karena saya ingat harus dua minggu sekali kembali ke perpusatakaan untuk
memperpanjang peminjaman buku itu. Berdasarkan
film dan buku harian, bagi saya sosok Gie adalah seorang intelektual muda yang
sangat idealis. Gie memandang kehidupan dengan nalurinya sebagai manusia dan
standar kemanusiaan yang apa adanya. Ada beberapa hal-hal yang dia ungkapkan
dengan sangat jujur, sederhana namun sangat dalam, bagi saya itu tidak
terlupakan. Hal yang menarik juga adalah ia hidup di masa peralihan antara orde
lama dengan orde baru, sehingga latar waktu sangat menjelaskan bagaimana cara
berpikir Gie sehubungan dengan kekuasaan, kemanusiaan, politik, penindasan dan
ketidakadilan. Jelaslah meski secara fisik Gie kecil kurus bukan seperti
Nicholas Saputra, namun dia memiliki mimpi yang besar. Secara
politik, buat saya Gie sangat otentik, jernih dan jujur. Saya memang belum
pernah bertemu langsung dengannya juga membaca seluruh narasi atau sumber
informasi tentang Gie. Saya juga tidak tahu persis apa orientasi politiknya.
Namun mengapa saya punya alasan mengatakan dia cukup jernih. Biasanya seseorang
yang memandang periode peralihan orde lama ke baru akan terbagi menjadi dua
kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang mengharamkan itu terjadi, mereka
adalah pendukung Soekarno garis keras, yang menganggap pencapaian orde lama
khususnya dalam bidang social politik sangat hebat dan melupakan betapa
terpuruknya ekonomi Indonesia saat itu. Dan Kelompok kedua adalah kelompok pro orde
baru, yang sangat menjunjung Soeharto dan militer sebagai pahlawan baru di
Indonesia. Namun Gie dalam film dan tulisannya berada di luar daridada dua
kelompok tadi. Gie
memandang orde lama sebagai kelompok tua yang dia katakan dalam bukunya
seharusnya terbunuh di lapangan Banteng. Sementara dia juga mulai ‘ragu’ dengan
orde baru yang baru beberapa tahun saja berkuasa. Bagi saya Gie bukan seorang
politikus, dia seorang sejarahwan yang humanis tapi cukup aktif menyuarakan apa
yang dia rasakan melalui posisinya sebagai mahasiswa dan pengajar saat itu. Namun
bagi saya, hal yang paling menarik dari Gie adalah sisi kemanusiaan dan
keresahannya. Gie banyak mempertahakan hal-hal yang sebenarnya paling hakiki
dalam kehidupan. Dia bertanya tentantgtujuan hidup yang tidak satu setan pun
tahu, dai resah tentang anggota dewan yang sudah nyaman dibawah kekuasaan dan
bahkan lingkungan pengajar UI yang tidak ideal. Awalnya saya berpikir bahwa Gie
sikapnya itu terlalu kritis. Akan
tetapi, dalam salah satu tulisannya dia mengatakan apakah sejarah tidak akan
tercipta tanpa penindasan. Dia juga mengatakan bahwa seorang sejarahwan adalah orang
yang akan menjadi pesimis, karena mereka adalah orang yang paham masa lalu,
hari ini dan kira-kira apa yang akan terjadi sebentar lagi. Pola sejarah
manusia selalu berulang revolusi, berkembang, maju, depresi, peperangan dan
perebutan kekuasaan adalah suatu lingkaran yang senantiasa berputar. Sehingga
cocok jika Gie mengatakan sejarah tak akan tercipta tanpa kekerasan, karena
itulah yang nyata terjadi. Hal
itu menimbulkan pertanyaan : Untuk apa manusia diciptakan dan lahir ? Bukankah
lebih baik baginya tidak dilahirkan, mati muda dan yang tersial adalah umur
tua. Pertanyaan-pertanyaan Gie ini mengusik pencarian jati diri saya. Ini
sangat pribadi, dan sosok Gie membuat saya kembali mencari jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan itu. Membaca lebih banyak buku dan berupaya menjadi lebih
manusiawi dalam memandang kehidupan saya dan orang lain. Ada
satu lagi keunggulan yang Gie miliki dia sangat jujur dan berani. Mungkin ini
karena kita membaca buku hariannya, suatu hal yang sebenarnya sangat intim dan
pribadi. Sebagai contoh dia memandang agama bukan sebagai filosofis tapi
mengenai keseharian. Seperti kata Kahlil
Gibran agama adalah keseharianmu. Maksudnya nilai agama seharusnya membantu
seseorang lebih manusiawi dan beradap, bukan sebagai pendakwah tapi melupakan
atau tidak peduli dengan hal-hal yang ada disekelilingnya. Saya masih ingat
betul Gie dalam catatan seorang demonstran pernah berpikir lebih baik bantuan
berupa makanan daripada kitab suci dalam suatu bencana. Hal
ini memberi saya pelajaran penting yakni agama atau ketuhanan itu penting. Tapi
itu dapat dinilai bukan soal dari pengetahuan , penampilan luar atau apa yang
dikatakan. Itu yang biasanya manusia nilai. Tapi itu nyata dari tindakan
seseorang. Sebagai contoh, kalau dia seorang pria dan dia menganggap dirinya
bertuhan. Apakah dia seorang ayah yang baik? Apakah dia memberi nafkah
keluarganya? Apakah dia setia pada pasangannya? Lebih jauh bagaimana dia
memperlakukan orang lain terutama pada saat ada kesulitan. Bagiamana reaksinya
melihat ketidakadilan? Seharusnya nilai-nilai yang baik termasuk agama membuat
seseorang menjadi manusia yang lebih utuh dan humanis serta memiliki moral yang
lebih baik. Pelajaran
terpenting inilah yang saya dapatkan dari seorang Soe Hok Gie. Keresahan dan
pertanyaanya membuat saya optimis kembali mencari jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan Gie dalam Alkitab. Bukan bermaksud menggurui atau
menjelaskan soal iman pribadi saya, ini hanya sekedar menceritakan kisah saya
dan sosok Gie. Gie merindukan dunia yang bebas dari penyakit dan penderitaan,
saya menemukan jawabannya dalam Kitab Wahyu 21 : 3,4. Dunia saat ini penuh duka
dan air mata, sejarah tak pernah ada tanpa kekerasan. Saya yakin bahwa manusia
manapun dan seperti yang Gie lakukan, perjuangan seperti apapun tidak akan
merubah dunia ini menjadi tempat yang lebih baik. Hanya kepada Tuhanlah saya berharap. Saya percaya seperti halnya kasih dan kemanusiaan yang Gie miliki, Tuhan jauh lebih baik daripada itu. Dia pribadi yang sangat baik dan saya percaya Dia tidak pernah menyiksa makhluk-mahkluk ciptaannya di neraka, suatu hal kalau Dia lakukan maka standar moralnya jauh dibawah manusia-manusia yang tidak sempurna. Saya yakin manusia tidak mempunyai kekuatan untuk menentukan langkahnya. Makhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada, berbahagialah dengan ketiadaanmu. Maka seperti kata Gie kebenaran hanya ada diatas dan dunia ini adalah palsu, palsu. Ferdy Christianto Instagram: @ferdychristianto |
Tidak ada komentar :
Posting Komentar