Tabik! Dalam fase melanjutkan studi selanjutnya, saya dilarikan ke salah
satu kampus di Bandung dengan program studi Sastra. Keputusan harus saya ambil,
agar saya bisa tetap kuliah. Kedatanganan pertama kalinya, untuk melanjutkan
tingkat studi mengenah saya datang dengan kehampaan. Benar-benar tidak
tahu-menahu, bukan hanya sekedar minim literasi, saya benar-benar datang
sebagai orang yang buta akan definisi apa Sastra itu sendiri.
Beberapa bulan berselang, niatan saya yang tadinya hanya sementara untuk
berkuliah dijurusan Sastra. Lambat laun perlahan memudar, ketika pun saya mulai
meraba-meraba untuk lebih intim dengan Sastra.
Lalu,
satu semester telah beralalu. Memasuki semester kedua dan ketiga. Mungkin
adalah waktu yang cepat untuk dibahasakan, tapi dalam periswa waktu banyak yang
telah terjadi. Di semester kedua, saya memutuskan untuk bertahan sebagai
mahasiswa Sastra. Hal-hal yang menjadikannya saya telah jatuh, adalah teman
saya sebut saja Yan Bohiemian. Setelah bisa membuat saya tertarik, saya dikenal
pada tokoh yang kedua namanya begitu asing. Dia tidak menyebutkan apa-apa
ketika dulu, dia menyedorkan buku yang berjudul Catatan Seorang Demonstran.
Awal-awal saya memang merasa kurang tertarik pada demonstrasi, karena ketika dulu
saya pikir bahwa Sastra punya kedudukan dan jalan sendiri untuk bersuara, untuk
berbicara keadilan; kegoisan terbesar saya ketika dulu. Saya tidak dapat
apa-apa dalam perkenalan dengan Gie ini, tapi tempo lalu ada pemutaran film Gie
di acara Kampus. Entah kenapa saya mulai terdorong, saya ikut menontonnya.
Dengan beberapa peristiwa dalam film itu yang sebenarnya klise, karna bukan
peristiwa sesungguhnya. Banyak yang terlewat banyak yang dibuat-buat, tapi
dibalik itu semua saya menjadi merasa jatuh dengan tokoh Gie.
Dia
mengabarkan kebenaran kepada orang-orang melalui peran pemikiran terhadap
pandangan politiknya dengan sastra. Hal-hal paling fundamental itulah yang
mendasari untuk mengetahui lebih dalam sosoknya. Seiring dengan refenrensi yang
saya baca, banyak yang bisa saya ambil. Terlebih pemikiran politiknya yang
sangat ideal bagi saya, yang didasari tanpa kepentingan apapun. Ketika itu,
keadaan di kampus memang gaduh oleh kelompok-kelompok esktra kampus yang saling
berkompetisi untuk mendapatkan kedudukan di parlemen tingkat kampus. Mereka
semua bergerak atas dasar kepentingannya kelompoknya sendiri, saling menjatuhkan
saling mengkritik, saling men-tuhan-kan diri diatas jalannya masing-masing.
Setiap
kali melihat mahasiswa yang sok berkuasa-paling benar dengan kelompoknya,
selalu merasa mampu mendominasi, selalu bermain-main dengan angka anggaran
kegiatan kampus. Pernah ada kutipan dari Gie, "Politik adalah lumpur yang
kotor, ketika kita tidak mampu menghindarinya maka terjunlah.". Dan
ketika, ada kejanggalan terjadi pada setiap pergerakan, kegiatan politik
kampus. Saya berusaha menjadi negasi yang baik setidaknya untuk diri saya
sendiri, saya dapat memilah mana yang benar-benar baik dan benar-benar buruk.
Setidaknya saya secara pribadi saya sadar pada kebenaran yang hakiki.
Banyak
sekali hal-hal yang menginspirasi dari tokoh Gie ini, bagi saya perkenalan
terhadap Gie adalah alesan kenapa saya harus tetap bertahan dan berani bergerak.
Sangat sulit untuk membahasakan sejauh mana Gie telah menginspirasi saya,
terlebih pada peristiwa-peristiwa detilnya. Tapi saya hari ini, ada sebagian
huruf hidupnya Soe Hok Gie. Walaupun saya tidak pernah bisa menjadi Gie, tapi
setidaknya pemikirannya, cara berbicara, cara melihat dia memandang sesuatu,
cara dia berpihak pada kebenaran telah menjadi sikap setidaknya untuk diri saya
sendiri.
Saya
memilih kata "setidaknya;" pada judul karena memang benar
saya tidak bisa menjadi sekuat dan sehebat Gie baik dalam pemikiran ataupun
gerakannya, tapi setidaknya telah banyak yang membuat saya terinspirasi untuk
menjadi pribadi yang lebih baik. Bukan seberapa harus baik tulisan ini, karna
sulit jika memang harus mengejar itu. Tapi mungkin ini adalah cara berterimakasih
kepada Gie.
Muhammad Rohmat
Instagram: @rohmatomat |
Tidak ada komentar :
Posting Komentar