Saya
adalah seorang pemuda yang biasa-biasa saja, lahir pada tahun 2000 dan juga
tumbuh sebagaimana anak-anak diluar sana: bermain, sekolah dan juga aktivitas
lainnya. Semua sama saja rasanya, hidup sebagai seorang manusia yang terkadang
manghabiskan hari dengan ketawa-tiwi dengan teman.
Pada
akhir tahun 2018 lalu, saya lulus dari sekolah menengah pertama, sebagaimana
murid yang baru lulus sekolah, tentunya saya mulai serius untuk mengikuti
tes-tes demi masuk ke universitas yang saya tuju. Setelah gagal melewati banyak
tes, akhirnya saya masuk ke salah satu universitas negeri yang ada di kota
saya. Rasa bangga, senang yang tak terkira menyelimuti saya hari itu. Seorang
anak yang ingusan akhirnya akan menjelajahi dunia yang konon katanya penuh
kebebasa, dunia yang akan membawa kaki serta pikiran saya melalangbuana hingga
jauh-jauh sekali.
Tiba
disaat hari masuk kampus tiba, sebagaimana mahasiswa baru pada umumnya, saat
pertama kali masuk kedalam dunia kampus pasti akan melewati masa-masa
perkenalan. Ditempat saya sendiri masa orientasi bernama PKKMB (Pengenalan
Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru) durasi masa perkenalan ini selama 3 hari, dari
pukul 7 pagi hingga 5 sore. Masa orientasi di kampus saya rasanya seperti
kebanyakan universitas, mendengar khutbah dari rektor, dekan serta ketua bem,
dilanjutkan dengan berkeliling kampus dan mengikuti permainan-permainan yang
rasanya tidak sama sekali membuat saya bergairah ataupun menjadikan suatu
kelompok memiliki kekompakan. Akan tetapi, minimal dari panjangnya rangkaian
masa orientasi ini saya mendapatkan suatu hal, yaitu: teman.
Pasca
masa orientasi mahasiswa, keesokan harinya perkuliahan telah dimulai, rasanya
biasa saja menurut saya, hari-hari pertama perkuliahan dihabiskan dengan
perkenalan dan juga bercengkrama, kebanyakan dosen hanya memperkenalkan diri
lalu membacakan kontrak selama perkuliahan. Hari hari berlanjut sebagaimana
perkuliahan pada umumnya: mendengar, bertanya, presentasi, tugas, bercanda,
bermain, dan hal-hal lainnya.
Waktu
bergulir, hari berganti dan juga perkuliahan rasanya semakin membosankan.
Sekedar pembelajaran dalam kelas rasanya sama seperti masa-masa sekolah
menengah dahulu. Saat kuliah, rasanya ingin sekali “menjelajahi” hal-hal yang
baru, yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Hingga tibalah hari dimana
saya bertemu dengan seorang senior di kampus. Bisa dikatakan, dia adalah
seorang yang menyukai dunia pergerakan dan juga literasi. Senior saya mengajak
saya untuk mengikuti diskusi disalah satu caffe yang ada di kota saya,
sekaligus setelahnya, mengajak untuk berdiskusi santai. Pembahasan diskusi yang
saat itu dibahas mengenai pergerakan mahasiswa. Mulai dari pergerakan pemuda
sebelum kemerdekaan, hingga pergerakan mahasiswa tahun 98 semuanya dibahas dan
dibicarakan, suatu pembahasan yang membuat saya tertarik dan menyenangkan.
Hingga
tiba saat saya berdiskusi dengan senior saya, mula-mula kami membicarakan
tentang diskusi tadi sampai ke pembahasan yang ngalor-ngidul kami bicarakan
semuanya. Hingga senior saya menyebutkan satu nama, yaitu Gie. “lu tau nggak,
di angkatan tahun 60-an ada salah satu orang yang berperan dalam menyukseskan
gerakan mahasiswa kala itu, namanya Soe Hok Gie. Berangka dari sanalah
ketertarikan akan Gie dan dunia pergerakan saya muncul. Mula-mula saya menelusi
jejak Gie di internet, beralih mencari buku mengenainya dan buku hariannya,
sampai menonton film tentangnya. Bisa dikatakan sebelumnya saya adalah orang
yang jarang membaca buku, terlebih buku-buku serius. Saya mungkin lebih
tertarik dengan membaca novel-novel petualangan, fantasi atau novel-novel cinta
ala-ala dunia dongeng. Hingga saya “berkenalan” dengan Gie semuanya berubah.
Ketertarikan saya terhadap buku, alam, diskusi dan dunia pergerakan mahasiswa
timbul dan saya terus berusaha mencari serta belajar tentang hal-hal tersebut.
Lewat
tulisan-tulisannya Gie membius semangat, menyadarkan kepada kita bahwa masih
banyak permasalahan-permasalahan yang harus diselesaikan. Dari Gie saya bisa
melihat gambaran seorang pemuda yang luar biasa, melaluinya saya bisa melihat masa
muda yang penuh dengan keresahan akan negerinya, darinya saya melihat bahwa
kecintaan terhadap tanah air tidak dapat diukur dari asal suku ataupun warna
kulit, dari Gie saya belajar untuk menjalani masa muda dengan penuh keberanian,
menghadapi kehidupan yang penuh tanda tanya ini.
Bagi
saya Gie hanyalah seorang pemuda biasa, sama seperti saya ataupun pemuda-pemuda
lainnya. Gie hidup dengan banyak pertanyaan dan juga kegelisahan. Gie
membutuhkan makanan untuk hidup dan juga bernafas. Gie adalah manusia biasa,
akan tetapi gagasan serta perjuangan akan kemanusiaanya yang tidak biasa.
Itulah yang membuat namanya terdengar dan tak lekang oleh ganerasi-generasi
baru Indonesia, seperti saya misalnya. Gie, bagi saya tidak sekedar seorang
pejuang kemanusiaan, ataupun seorang aktivis, bagi saya, Gie adalah bara api
semangat untuk generasi-generasi Indonesia selanjutnya. Menurut saya, hal
tersebut membuatnya menjadi pemuda yang melampaui zaman.
Terima
kasih Gie, berkatmu aku belajar, bahwa hidup bukan tentang berapa lama kita
mendiami bumi ini, bukan tentang apa yang kita miliki, akan tetapi seberapa
berguna dan bermanfaatnya kita dalam hidup ini.
Author:
Muhammad Iqbal
Instagram: @iqbal_mhmd21
|
Tidak ada komentar :
Posting Komentar