Hai
Gie, salam damai untuk kamu, ya.
Bersamaan
dengan pikiran yang sedang acak, aku bersikeras mengingat bagaimana hingga
sekarang aku masih menyukai kamu, Gie. Segalanya tentang kamu yang mampu
membuka ruang maha lapang dalam pikiranku, pikiran yang terus diliputi
bayang-bayang. Gie, pada mulanya aku sama sekali tidak gemar mendaki, tapi
karena aku telah bertemu dengan kawan-kawan yang super hebat, yang kali pertama
mengajakku pergi mendaki dan super dadakan itu. Dengan alat dan bahan yang
seadanya, aku bebarengan dengan empat kawan pergi ke Gunung Buthak, memang Gie,
Gunung ini tidak terlalu populer di kalangan pendaki daerah luar Jawa Timur.
Tapi Gie, andai saja kamu tahu, kalau disana lah aku mulai mengetahui tentang
kamu Gie, Di Pos pendaftaran Gunung Buthak tertempel stiker nama bertuliskan
"Soe Hok Gie, sekali lagi" yang enggak sengaja pernah aku lihat Gie
waktu mendaftar pendakian di Sore hari yang mendung. Kemudian di Padang Savana
Gunung Buthak itu Gie, ada sehelai kertas tertiup angin yang jatuh di bawah
pohon rindang dekat dengan tempat tenda pendakianku didirikan. Kau tau, Gie,
apa tulisan dalam kertas itu? Kertas itu lagi-lagi bertuliskan namamu, dengan
sepotong kalimat yang dikutip dari Puisi Karya Kamu itu Gie. Seingat saya,
sepotong kalimat itu kira-kira singkatnya begini "aku cinta padamu
Pangrango karena aku cinta pada keberanian hidup". Enggak tahu ya Gie,
kenapa tulisan itu begitu melekat dalam diri saya, kertas itu saya masukkan
kantong celana, meski sudah lusuh dan hampir pudar karena terkena air, mungkin
karena memang Buthak sedari kemarin itu hujan melulu Gie, lalu saya pergi untuk
submit ke puncak Gie, sama kawan saya yang begitu sabar dan baik hati. Saya
masih ingat persis ya Gie, kalau jalur pendakian menuju puncak Buthak lumayan
terjal, licin karena hujan, dan banyak bebatuan besar untuk dilewati. Karena
itu adalah pendakian pertamaku Gie, aku begitu antusias walau cuma memakai
sepatu yang biasa dan perlengkapan seadanya, sama seperti yang kamu
dan rombongan bawa sewaktu dulu di Semeru. Bagaimanapun, cerita perjuangan itu
sangat pedih untuk di kenang Gie. Di puncak Buthak, masih juga tertempel stiker
tentangmu Gie, di tiang bendera itu.
Gie,
aku jadi sedikit cemas, dibatas senja. Terbesit dipikiranku Gie, kalau tidak
penting sepopuler apapun sebuah Gunung, namamu begitu akrab di dunia pendakian,
Gie.Lalu, aku bertanya dalam benakku, di hari yang dingin, yang meliputi Padang
Savana Buthak sejak malam itu tentang siapakah kamu sebenarnya Gie.Sabana di
Buthak bagus dan luas Gie, banyak bunga Edelweis yang mekar dimusimnya, yang
kemudian jadi basah karena Buthak sedang hujan seharian. Yang paling menerangi
Sabana kala itu selain bulan adalah kunang-kunang, Gie. Kau suka, bukan? disana
banyak sekali kunang-kunang yang terus menyala dalam gelap, hinggap dan
kemudian terbang perlahan-lahan, mungkin aku harus belajar dari kunang-kunang
atau kupu-kupu, ya Gie, untuk paham apa arti Ikhlas. Atau mungkin begini
singkatnya, Ikhlas itu seperti; Kau rawat dengan tekun kepompong sampai menjadi
kupu-kupu, meski kau tau, semua yang bersayap pasti akan terbang-- Aku terus
melamun tentang apa arti tulisan di sepucuk kertas itu karena aku sama sekali
tidak tahu tentang apa itu Pangrango. Sepulang dari pendakian kali pertama itu
Gie, aku mulai mencari tahu tentang kamu, Biodata kamu, Riwayat pendidikan
kamu. Ah, Gie, kenapa kamu harus meninggal lebih dulu? Kepalaku tak
henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil pada diri sendiri, kenapa Gie kok
harus kamu yang abadi dalam dekapan Semeru? Mungkin sejak itu aku jatuh hati
kepada sebuah nama, yaitu kamu Gie, kepada Dunia Pendakian yang terus
bergejolak dalam jiwa. Sampai kemudian ada seorang temanku yang acapkali
memotret kutipan puisi karya kamu dalam sebuah lembar buku.
Mandalawangi-Pangrango, betapa aku senang Gie membaca puisi kamu yang itu, aku
memutuskan untuk meminjam buku pada teman tentang kamu Gie, "Soe Hok Gie,
Sekali lagi". Gie, kenapa ya, aku tidak bisa berhenti membacanya, walau
sering sibuk aku selalu meluangkan untuk membaca. Sebegitunya aku dengan
ceritamu di Semeru dulu Gie. Sesempit-sempitnya waktu yang aku punya, untukmu
akan selalu aku sempat-sempatkan Gie. Sedih sekali kalau harus membayangkan
bagaimana perjuangan Kamu dan Rombongan yang naik ke Semeru dulu, yang harus
hemat makanan karena perbekalan yang pas-pasan. Ingat tidak? Yang kamu pernah
lihat Macan di Semeru, itu cukup lucu Gie, kenapa kamu tidak takut? Kamu memang
pemberani Gie, yang selalu berjuang dan gigih. Di bagian yang paling sedih, kau
meninggal di puncak Semeru sehari sebelum hari kelahiranmu diperingati, seperti
keinginanmu yang mau ulangtahun di puncak Mahameru, atap tertinggi tanah pulau
Jawa, bersama Idhan Lubis, yang menghabiskan waktunya dengan Shalat sebelum
pergi ke Puncak Mahameru.
Aku
masih ingat Gie, di dalam buku itu, betapa Herman Lantang dan semua kawan-kawan
berjuang untuk mengevakuasi Jenazah kamu dan Idhan Lubis sampai bisa dibawa
pulang ke Jakarta, sangat pedih Gie untuk mengingat semuanya. Yang cukup
membuatku terkagum Gie, adalah tukang Peti mati di Malang yang mengenal kamu,
dari puisi-puisimu yang diterbitkan di koran harian, sampai-sampai sebagai
tanda penghormatan terakhir dan rasa belasungkawa, ia memberi peti itu dengan
cuma-cuma buat jenazah kamu dan Idhan. Dan juga pilot yang membawa helikopter
terbang dari Malang ke Jakarta, Dia bilang kalau dia mengenal kamu karena
tulisan kamu, lagi-lagi adalah karena tulisan kamu Gie. Dia juga bilang, sayang
sekali kamu pergi lebih dulu, kamu mungkin akan bisa berbuat lebih banyak kalau
kamu hidup terus. Betapa karya-karya kamu telah dikenal dikhalayak umum Gie,
di telinga banyak orang sampai di Malang. Padahal kamu cuma ingin jadi orang
biasa yang terus berguna, bukan golongan pemerintahan yang harusnya lebih
dikenal. Kamu yang rendah hati, yang bisa iba hati, yang selalu bilang, kalau
kamu bersama orang-orang yang malang, itulah rasa yang hakiki kan, Gie?
Teringat perbincangan Kakak kamu dengan salah satu kawan kamu Gie, disudut mata
kakak kamu yang mulai berkaca-kaca itu membuktikan bawah dia begitu sedih,
meski kamu jarang bersua dengan dia, tapi dia merasa sangat kehilangan kamu
Gie, dan itu benar dibuktikan dengan dia berusaha memberi yang terbaik untuk
Indonesia dan meneruskan perjuanganmu dibidang Politik. Sampai kemudian ia
menemukan dilaci meja milikmu, tulisan karyamu yang isinya, Berbahagialah orang
yang mati muda. Gie, pasti kau sudah berbahagia, ya? Aku tahu Gie, Kau senang
sekali dengan Lembah Mandalawangi di Gunung Gede Pangrango, yang dingin dan
sunyi, ketika kabut turun perlahan, Kau senang sekali menenangkan diri disana,
bukan? Bahkan sampai-sampai, Anggota MAPALA UI dengan persetujuan keluarga
kamu, menyebarkan abu jasad kamu disana Gie, telah tegak abadi kerinduanmu
disana, Gie.
Aku
akan terus dan selalu menghormati pengorbananmu Gie, untuk selalu membersamai
orang-orang yang malang, meski tak cukup mampu menyamai kerja kerasmu dalam
setiap usaha, Gie.Semenjak nama-mu besar dalam hatiku dan begitu akrab di
telinga pendaki dari berbagai penjuru negeri. Aku ingin sekali membaca semua
buku tentang kamu Gie, semoga ya, nasib baik berpihak kepadaku. Kau adalah
orang yang baik sekali Gie, aku merasa telah mengenalmu, karena sejak saat itu
aku menggemari kamu Gie, semua tentang kamu, bahkan aku sering membuat
postingan di sosial media tentang kamu, aku ingin mengenang kamu dengan caraku
Gie, sewaktu aku masih bisa pergi mendaki ke Gunung-Gunung, dan impianku bisa
pergi ke tempat kesukaanmu itu, lembah mandalawangi dan alun-alun surya
kencana, aku cuma bisa berdoa Gie, semoga suatu saat nanti bisa pergi
kesana.Enggak tahu kenapa, kalau sedang tidak bisa tidur padahal hari telah
larut malam, aku selalu ingin caritahu tentang kamu, meski sudah banyak yang
aku tahu. Selain mengikutimu di dunia Pendakian, aku juga mengikuti Rekam jejak
pendidikanmu di UI Gie, kamu adalah mahasiswa yang hebat, yang baik dan peduli
dengan sesama, bahkan kamu mementingkan yang lain sebagai yang terutama
dibandingkan kepentingan kamu sendiri, di dunia perkuliahan kamu selalu aktif
berorganisasi, berkontribusi di MAPALA UI, sampai Kau menjadi Dosen tapi tetap
baik dan membaur seperti seorang kawan kala mengajar Mahasiswa Baru, Kartini
Gie, kau masih ingat kan? Mahasiswa Baru yang individual, yang cuek dengan
penampilan dan rada susah nyambungnya, tapi kamu tetap sabar mengajari dia,
kamu sering menghabiskan makanannya kalau dia makan tetapi tidak habis, kamu
juga bisa mengubah dunianya Gie, Dia jadi punya banyak kawan dan lebih percaya
diri, kau paling suka memainkan rambutnya yang panjang itu kan Gie? Kalian
begitu dekat, sangat dekat sekali sampai Kartini sangat kehilangan kamu, dia
menyadari bahwa dia memiliki perasaan kepadamu meski kamu telah tiada, Gie.
Mungkin
aku merasa bahwa kenapa tidak dari dulu saja ya aku tahu tentang kamu, karena
semenjak tahu tentang kamu dalam dunia politik, aku ingin seperti kamu Gie,
ingin jadi aktivis, mungkin ini kedengarannya lucu ya. Pernah ya Gie, saya
bingung pilih jurusan untuk kuliah, Saya jatuh cinta dengan Ilmu Matematika dan
Alam, yang nyata dan sedari lama sudah saya tekuni dengan tidak mudah, tapi
juga ingin terjun di jurusan sosial Gie, seperti Hukum dan Ilmu Politik. Tapi
entah kenapa, aku tahu ya menurutku Hukum di Negeri ini Bobrok, banyak
kebenaran yang dapat dimanipulasi Gie, serta politik di Negeri ini mungkin
kurang membaik. Aku memutuskan untuk masuk dunia kesehatan Gie, jadi mahasiswa
jurusan Keperawatan karena jiwa sosial terus berkecamuk, ingin saja Gie bisa
terus berguna bagi banyak orang. Gie, mungkin lucu ya kalau saya jadi Aktivis
tapi dari mahasiswa Fakultas Keperawatan, bukan Fakultas Ilmu Sosial yang lebih
cocok gitu. Tapi Gie, aku menghormati jasa kamu, sebagai mahasiswa yang
berusaha menjadi baik, aku tidak ikut BEM Gie, karena aku cuma ingin kebenaran,
seperti kamu, kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak
dimanipulasi. Tapi Gie, aku juga tidak ikut organisasi MAPALA karena di Kampus
tidak ada, apa mungkin karena Kampus Kesehatan ya, aku tidak tahu. Yang
terpenting Gie, aku terus berusaha memperjuangkan hak sesama, menyuarakan
aspirasi dan semacamnya jika ada forum, meskipun menjadi Aktivis memang seberat
itu, tapi paling tidak aku akan membela kebenaran Gie, seperti kamu yang rela
turun ke jalan memperjuangkan hak rakyat, yang melakukan aksi pengiriman
sepaket lipstik dan kaca ke anggota DPR sebagai bentuk sindiran agar
kawan-kawan kamu yang duduk dikursi DPR itu lebih cantik kerjanya. Maaf ya Gie,
aku masih belum menemukan jawaban atas segala resah dan gelisahmu kala itu. Aku
akan jalan terus Gie, dalam hidup yang begitu biru dan membawa karya-karya
kamu, Naik turun Gunung ditemani catatan kamu, aku mungkin naif Gie, kalau
bilang tidak rindu dan tidak ingin bertemu kamu, tapi kamu telah hidup dihati
saya Gie, dan begitu akrab didunia pendakian, selama kamu masih kuat melangkah
dan hati bisa dikendalikan untuk tetap merendah, kamu akan abadi dihati semua
orang yang mengenang kamu, Gie, termasuk saya.
Surabaya,
15 Juli 2020
Irine
firmani,
Bisa
ditemui di akun instagram @irinefirmanii
|
Tidak ada komentar :
Posting Komentar